Rabu, 22 April 2015

PENGARUH ATMOSTFIR TOKO TERHADAP MINAT BELI KONSUMEN

PENGARUH ATMOSTFIR TOKO TERHADAP MINAT BELI KONSUMEN
( Ditunjukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kulyah Manajemen Ritel )
SUKARIS,SE.,M.S.M
 









                                                                                                                                                                            
                                                            Disusun oleh:
            
                KARISMA ARGA KALOKA            (12311001)
                EKO TEGUH PURNOMO      (12311034) 
                                        

PROGRAM STUDI MANAJEMEN FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
GRESIK 2015


 KATA PENGANTAR
Puji dan Syukur kami panjatkan ke Hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat limpahan Rahmat dan Karunia-nya sehingga kami dapat menyusun makalah ini dengan baik dan tepat pada waktunya. Dalam makalah ini kami membahas mengenai “PENGARUH ATMOSTFIR TOKO TERHADAP MINAT BELI KONSUMEN
Kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan yang mendasar pada makalah ini. Oleh karena itu kami meminta pembaca untuk memberikan saran serta kritik yang dapat membangun kami. Kritik konstruktif dari pembaca sangat kami harapkan untuk penyempurnaan makalah selanjutnya. Akhir kata semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi kita sekalian. 











                                                                                                            Gresik , 03. 04 . 2015


                                                                                                                        Penulis




DAFTAR ISI


                                                                                                                                    halaman
COVER
KATA PENGANTAR............................................................................................ ......... i
DAFTAR ISI..................................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN…………………………………………………………. 1
1.1  Latar  Belakang……………………………………………………………… 1
1.2  Permasalahan………………………………………………………………... 4
1.3  Pertanyaan Penelitian……………………………………………………….. 7
1.4  Tujuan Penelitian……………………………………………………………. 7
1.5  Signifikansi Penelitian ……………………………………………………… 8
1.5.1        Signifikasi Akademis………………………………………………… 8
1.5.2        Signifikasi Praktis……………………………………………………. 8

BAB II KERANGKA TEORI……………………………………………………. 9
2.1. pemasaran ( Marketing )……………………………………………………. 9
2.2. Ritel………………………………………………………………………… 11
2.2.1. Food Retailers……………………………………………………………….. 12
2.2.2. General Merchandise Retailers………………………………………. 13
2.2.3. Non Store Retailers………………………………………………………….. 14
2.3. Minat Beli Konsumen……………………………………………………... 21
2.4. Hubungan Antar Konsep…………………………………………………... 23
2.5. Model Analisis…………………………………………………………….. 24

2.6. Hipotesis Teori…………………………………………………………….. 24



BAB III METODOLOGI……………………………………………………….. 25
3.1 Paradigma penelitian………………………………………………………. 25
3.2. pendekatan Penelitian……………………………………………………… 25
3.3 Jenis Penelitian……………………………………………………………... 26
3.4. Metode Pengumpulan Data………………………………………………... 26
3.4.1. Data primer…………………………………………………………… 27
3.4.2.data Sekunder……………………………………………………….... 27
3.4.3. Populasi dan Sampel…………………………………………………..27
3.4.3.1. Populasi………………………………………………………….. 27
3.4.3.2. Sampel…………………………………………………………… 28
3.5 Teknik Penarikan sampel……………………………………………………30
3.6 Uji Instrumen……………………………………………………………….. 31
3.6.1. Uji Relibilitas…………………………………………………………. 31
3.6.2. Uji Validitas…………………………………………………………… 32
3.7. Metode Analisis Data………………………………………………………. 33
3.7.1. Uji Normalitas ……………………………………………………...… 33
3.7.2. Analisis Deskriptif…………………………………………………….. 33
3.7.3. Analisis Univariat…………………………………………………….. 34
3.7.4. Analisis Bivariat………………………………………………………. 34
3.8. metode Pengukuran………………………………………………………… 35
3.8.1. Oprasionalisasi Konsep……………………………………………….. 35
3.8.1.1 Atmosfir Toko ( Store Atmosphere )……………………………… 35
3.8.1.2 Minat Beli Konsumen…………………………………………….. 36
3.9. Hipotesis  Penelitian………………………………………………………… 36
3.10. Keterbatasaan dan Kelemahan Penelitian…………………………………. 37
3.10.1. keterbatasan penelitian…………………………………………….. 37
3.10.2 Kelemahan Penelitian………………………………………………. 37




  
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
       Arus globalisasi dewasa ini, tidak hanya menyebabkan kemajuan teknologi dan komunikasi akan tetapi juga dengan laju perekonomian yang tumbuh tinggi seiring dengan persaingan pasar yang semakin ketat. Begitu banyak usaha bisnis yang bermunculan. Kegiatan pelaku bisnis tentunya juga tidak pernah lepas dari kegiatan pemasaran (marketing). Di dalam marketing, strategi pemasaran yang dilakukan oleh para pelaku bisnis tentunya bukan hanya masalah mendistribusikan barang, akan tetapi bagaimanakah cara distribusi tersebut dimana sampai pada rangkaian akhir pengecer (retailing) produk atau barang tersebut diminati oleh konsumen dan kemudian dibeli.
       American Marketing Association mendefinisikan marketing sebagai kegiatan perencanaan, penerapan masalah konsepsi, harga, kegiatan promosi dan penyampaian pesan dengan tujuan kepuasaan konsumen, individu ataupun organisasi. Marketing mengalami perkembangan seiring dengan perkembangan waktu dan kemajuan teknologi dan pasar, maka sekarang marketing dapat dijabarkan sebagai suatu proses organisasi dan proses dalam membuat,mengkomunikasikan, dan menyampaikan nilai-nilai kepada konsumen serta untuk menjaga hubungan antara konsumen, organisasi dan para stakeholder (Burnet, Moriarty, Wells, 2006). Kegiatan promosi selalu berkaitan dengan kegiatan komunikasi pemasaran. Komunikasi pemasaran merupakan kegiatan pemasaran dengan menggunakan teknik-teknik komunikasi yang bertujuan untuk memberikan informasi pada khalayak agar tujuan perusahaan tercapai. Teknik komunikasi itu antara lain iklan, public relation (PR), sales promotion, direct marketing, customer relationship management (CRM), experiential marketing, dan berbagai bentuk  kegiatankomunikasi lainnya (Burnet, Moriarty, Wells, 2006).
       Di dalam konsep pemasaran tentunya selalu ada proses distribusi dimana proses distribusi selalu berakhir dengan kegiatan retailing, yaitu pengecer yang merupakan proses terakhir dalam suatu distribusi. Di dalam proses retailing tidak hanya mampu mendistribusikan barang, akan tetapi juga dapat menjual barangshingga membuat proses pembelian pada konsumen. Di dalam kegiatan retailing yang dimana terdapat elemen retailing mix yaitu ; produk, promosi, lokasi, harga, presentasi toko, personalia dan customer service. Kegiatan retailing sebagai proses akhir dari sebuah pendistribusian dapat dimaksimalkan sebagai cara untuk membangkitkan minat beli konsumen, sehingga dalam retailing terdapat kolaborasi antara promosi dan penjualan.
Dengan kemunculan bisnis baru di pangsa pasar maka kemudian menjadi sebuah tantangan dan juga ancaman bagi para pelaku bisnis yang sudah memulai bisnisnya terlebih dulu. Keadaan tersebut apabila tidak didukung dengan pengetahuan mengenai strategi dan trik dalam menghadapi pasar global maka pelaku bisnis tentunya tidak dapat bertahan ditengah menjamurnya bisnis baru yang datang dengan konsep modern serta baru.
Sesuai dengan kegiatan retailing yaitu proses akhir dari sebuah pendistribusian dapat dimaksimalkan sebagai cara untuk membangkitkan minat beli konsumen, maka digunakanlah salah satu elemen dari retailing mix sendiri yaitu presentasi toko, dimana presentasi toko diartikan sebagai Atmosfir Toko. Konsep Atmosfir Toko menurut Levi dan Weitz (2007), sendiri merupakan penampilan citra toko yang diciptakan di dalam toko untuk memanjakan dan membangun image toko di mata konsumen dengan tujuan menarik perhatian, kenyamanan yang secara tidak langsung diharapkan untuk menciptakan minat beli dari konsumen ketika berada di toko tersebut.
Atmosfir toko juga menjadi sebuah daya jual unik dari sebuah toko untuk merepresntasikan toko (Levi dan Weitz, 2007). Atmosfir toko juga dijadikan sebagai hal unik yang menjadi nilai tersendiri yang menjadi pertimbangan konsumen dalam berbelanja. Atmosfir toko diperlihatkan oleh toko misalnya dalam bentuk bangunan, warna lampu, desain penataan, seragam karyawan, alunan musik, fasilitas umum. Semua yang ditampilkan dalam atmosfir toko harus sesuai dengan apa yang menjadi jualan pertama dari toko tersebut, sehingga pembeli menilai atmosfir toko yang ditampilkan sebagai nilai positif dan pembeda dengan toko lainnya.
Tanpa disadari, kegiatan menata interior suatu toko terkadang bias mempengaruhi psikologi pengunjung. Ada beberapa unsur ruang di sekitar yang sangat memengaruhi sisi psikologis, seperti misalnya adalah warna, bentuk, garis, tekstur, suara, bau, dan berbagai gambar dan simbol yang memiliki dampak terhadap keadaan emosi pengunjung, juga karakteristik psikologi manusia. Pengembangan interior took yang disesuaikan dengan karakteristik pengunjungnya harus dipadukan dengan struktur bangunan yang ada. Yang termasuk ke dalam faktor psikologi pada desain, di antaranya penglihatan, perasa, pendengaran, dan penciuman (Lamb, Hair dan Mc Daniel, 2001).
Menurut Levi dan Weitz (2007), bahwa faktor psikologi perasa memiliki peran yang sangat penting. Faktor psikologi perasa ini sangat berpengaruh terhadap pengaplikasian warna untuk interior. Warna merupakan salah satu elemen yang mampu memberi pengaruh psikologi yang kuat dalam sebuah interior bangunan. Warna juga dapat menciptakan nuansa tersendiri, seperti kesan hangat,dingin,dan netral. Misalnya adalah warna merah, kuning dan oranye dapat dikatakan warna yang mampu menaikkan tekanan darah. Warna tersebut akan membuat pengunjung merasa hangat dan bersemangat. Adapun biru, hijau, dan ungu dapat meredam suhu ruangan sehingga membuat pengunjung merasa dingin sekaligus rileks. Psikologi warna juga bisa dipengaruhi latar belakang budaya.
 Kemudian faktor psikologi penglihatan bisa dilihat dari bentuk bangunan. Bentuk biasanya mewakili apa yang ingin disampaikan. Bentuk umumnya dapat diciptakan oleh garis maupun warna. Dengan tipe klasik, maka bentuk furniture dengan banyak ukiran aristokrat yang dapat diaplikasikan pada langit-langit bangunan. Menurut Levi dan Weitz (2007), bentuk bangunan bisa diklasifikasikan seperti bentuk simetris, asimetris, geometris, dan organik. Garis secara psikologi dapat membangkitkan perasaan yang berbeda, sebagai contoh garis horizontal, biasanya akan memberikan dampak ketenangan. Garis vertikal dapat memberikan perasaan stabilitas. Untuk garis vertikal, terlihat pada penerapan bangunan pilar. Selain garis, tekstur juga merupakan teknik desain interior yang bias membangkitkan perasaan. Salah satu prinsip dasar penggunaan tekstur adalah berkaitan dengan kesan yang didapat. Tekstur kasar cenderung membuat objek terlihat berat, sedangkan tekstur halus akan membuatnya terasa lebih ringan. Setelah tekstur, elemen yang harus diperhatikan dalam membangun psikologi sebuah tatanan desain interior adalah suara. Suara adalah elemen dimana dapat memberikan efek psikologis yang menenangkan dan mampu melepaskan ketegangan. Pada elemen penciuman, Keberadaan aroma yang berbeda di ruangan juga bisa memainkan peranan dalam membentuk sikap dan emosional pengunjung.
1.2 Perumusan Masalah
Yogyakarta merupakan ibukota dari provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Satu-satunya daerah istimewa yang ada di Indonesia kini. Dikatakan Istimewa karena merupakan daerah yang masih dipimpin oleh Sultan sebagai Gubernur secara turun temurun mulai dari Sulta Hamengkubuwono I sampai sekarang yaitu Sultan Hamengkubuwono IX. Dengan keistimewaan ini tidak mengherankan apabila Yogyakarta mempunyai banyak sebutan antara lain adalah kota Gudeg, kota pelajar ataupun kota Budaya. Yogyakarta sebagai kota yang terus berkembang, mempunyai laju pertumbuhan ekonomi dan perubahan teknologi serta arus informasi yang cukup cepat.
Pasar yang semakin dinamis, mengharuskan para pelaku bisnis untuk secara terus-menerberimprovisasi dan berinovasi dalam mempertahankan para pelanggannya. Bisnis yang dijalankan dewasa ini tidak lagi berorientasi pada laba dan keuntungan semata. Pemasaran aktif yang lebih berorientasi pada pelanggan lebih banyak digunakan oleh para pelaku bisnis, meskipun hal ini mengharuskan para pelaku bisnis tersebut untuk mendefinisikan “want and need” dari sudut pandang konsumen.
Sebagai kota budaya pun maka Yogyakarta mempunyai daya tarik magnet tersendiri bagi para wisatawan domestik ataupun wisatawan mancanegara, bahkan warga di Yogyakarta pun masih sangat tertarik dengan ke-khas-an budaya Yogyakarta ini. Suasana tradisional pun menjadi alasan kenapa banyak orang yang tertarik dengan kota ini. Seperti yang kita ketahui, pariwisata tidak pernah terlepas dengan kegiatan berbelanja. Pelaku bisnis di kota ini pun kemudian melihat peluang ini sebagai daya tarik dalam bisnis mereka. Menjadikan unsur budaya sebagai faktor dalam menjalankan bisnisnya. Kotler (1973) mengatakan identitas sebuah toko dapat dikomunikasikan kepada konsumen melalui dekorasi toko atau secara lebih luas dari atmosfernya. Meskipun sebuah atmosfer took tidak secara langsung mengkomunikasikan kualitas produk dibandingkan denganiklan, atmosfer toko merupakan komunikasi secara diam-diam yang dapat menunjukkan kelas sosial dari produk-produk yang ada didalamnya. Sehingga menurut Kotler (1973), hal ini dapat dijadikan sebagai alat untuk membujuk konsumen menggunakan jasa atau membeli barang yang dijual di toko tersebut. Baker, et al (1994) juga menambahkan bahwa dengan menunjukkan sebuah took yang memiliki atmosfer yang baik dan elegan, maka toko tersebut dapat memberikan kesan sosial yang baik di mata konsumen, dan jika kesan positif tersebut berlangsung lama maka toko tersebut akan menjadi pilihan utama bagi konsumen untuk menggunakan jasa atau membeli barang di toko tersebut.
Berikut adalah bisnis yang menggunakan unsur budaya dalam melakukan bisnisnya, yaitu Mirota Batik Yogyakarta yang terletak persis di jantung kota Yogya, yaitu kawasan Malioboro. Dengan letak berhadapan dengan pasar Beringharjo, toko ini kemudian bersaing untuk menarik para konsumennya. Mirota Batik merupakan sebuah toko yang mempunyai produk jual utamanya adalah batik, dalam bentuk busana, kain, kerajinan, hiasan maupun berbagai bentuk aksesoris. Mirota Batik berusaha mengemas dan menjadikan konsep tradisional budaya Yogyakarta (atmosfir toko) dalam konsep bisnisnya. Dengan suasana toko yang kental dengan budaya Kasultanan Yogyakarta, dimana para karyawannya pun berbusana layaknya abdi dalem keraton dan pengunjung pun seolah dibawa masuk dalam ruangan keraton yang menampilkan berbagai macam barang dengan unsur batik, ethnic dan Jawa tradisional. Toko ini mempunyai 3 lantai, dimana lantai 1 untuk lantai penjualan busana dan makanan tradisional, lantai 2 untuk produk lainnya seperti kerajinan, hiasan dan aksesoris, dan lantai 3 untuk restoran serta panggung hiburan pertunjukkan tradisional. Semuanya dikemas secara tradisional Keraton Yogyakarta. Berdasarkan uraian tersebut, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian mengenai pelaksanaan atmosfir toko yang dilakukan oleh Mirota batik sebagai bentuk komunikasi pemasarannya.
Mirota Batik berada di jantung pusat perbelanjaan, di Malioboro. Terletak persis di depan pasar tradisional terbesar di Yogya yaitu Beringharjo. Berada dalam lingkungan kerajinan batik dan sangat dekat dengan Keraton Yogyakarta. Peneliti meneliti Mirota Batik melihat dari konsep modern-tradisional yang ditampilkan. Berbentuk gerai toko modern dengan konsep tradisional dimanaberbeda dengan Margaria yang berkonsep butik dengan tampilan standar layaknya butik pada umumnya dengan tata cahaya lampu yang terang dan penggunaan manekin dengan tambahan kaca di setiap sudutnya serta terdapat etalase untuk memajang koleksi terbaru. Pasar Beringharjo menggunakan konsep tradisional dimana terdapat proses jual beli konsumen dengan penawaran terlebih dahulu. Barang yang dijual beragam tanpa spesifikasi yang jelas dimana konsumen harus mencari barang yang dicari sendiri. Tidak ada keunikan yang ditampilkan selain keunikan layaknya pasar tradisional. Mirota Batik mempunyai konsep atmosfir toko yang jelas dan unik, dimana seragam karyawannya terkonsep dengan bentuk seragam abdi dalem keraton yaitu lurik dan kebaya tradisional, tanpa etalase dan pintu masuk yang tertutup karena barang jualan dari pedagang kaki lima.

Seiring dengan perkembangan waktu, Mirota Batik membuat inovasi baru dimana membuat lantai 3 sebagai bentuk restoran dan pagelaran. Kehadiran lantai 3 sebagai lantai tambahan di Mirota Batik ini tak ubahnya tentu memberikan perubahan pula pada Mirota Batik. Mirota Batik dinilai menampilkan sisi yang kurang baik dimana menjadi toko yang semrawut karena banyaknya aktifitas pembeli yang bermacam-macam. Akan tetapi yang menarik adalah konsep modern yang dikemas secara tradisional modern inilah yang menjadi perbedaan Mirota Batik dengan toko, gerai ataupun butik lain di Yogyakarta.

1.3 Pertanyaan Penelitian
 Peneliti merumuskan pertanyaan pada penelitian ini adalah :
1. Apakah atmosfir toko mempengaruhi minat beli konsumen pada Mirota  Batik     Yogyakarta?
2. Bagaimana tanggapan konsumen terhadap atmosfir toko Mirota Batik Yogyakarta?
1.4 Tujuan Penelitian
 Penelitian ini bertujuan:
1. Untuk menjelaskan pengaruh atmosfir toko terhadap minat beli konsumen pada Mirota Batik Yogyakarta
2. Untuk mengetahui tanggapan konsumen terhadap atmosfir took Mirota Batik Yogyakarta.



1.5 Signifikansi Penelitian
1.5.1 Signifikansi Akademis
Penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan terkait studi mengenai kegiatan marketing lebih khusus lagi mengenai kegiatan retail marketing. Diharapkan hasil penelitian ini dapat dijadikan masukan dan referensi bagi penelitian-penelitian berikutnya.
1.5.2 Signifikansi Praktis
Penelitian ini diharapkan mampu menjadi masukan dan menjadi pertimbangan bagi marketing terkait dengan industri ritel yang menggunakan konsep atmosfir toko sebagai salah satu daya tarik dan strategi pemasaran yang digunakan dan menjadikannya bahan evaluasi demi keberhasilan aktivitas retail marketing.











BAB II
KERANGKA TEORI
2.1 Pemasaran (Marketing)
Kottler mendefenisikan “Marketing is a societal process by which individuals and groups obtain what they need and want through creating, offering, and freely exchanging products and services of value with each other” yaitu proses sosial dimana individu dan kelompok mendapatkan keinginan dan kebutuhkan dengan menciptakan, menawarkan dan melakukan pertukaran produk dan jasa yang bernilai antara satu sama lain secara bebas. Kemudian menurut American Marketing Association, marketing adalah suatu kegiatan perencanaan, penerapan masalah konsepsi, harga, kegiatan promosi dan penyampaian pesan dengan tujuan kepuasaan konsumen, individu ataupun organisasi. Marketing mengalami perkembangan seiring dengan perkembangan waktu dan kemajuan teknologi dan pasar, maka sekarang marketing dapat dijabarkan sebagai suatu proses organisasi dan proses dalam membuat, mengkomunikasikan, dan menyampaikan nilai-nilai kepada konsumen serta untuk menjaga hubungan antara konsumen, organisasi dan para stakeholder (Burnet, Moriarty, Wells, 2006).
Seiring dengan pertumbuhan daya saing pasar dan minat konsumen maka munculah konsep pemasaran terintegrasi yang dikenal dengan Intergrated Marketing Communication. Belch and Belch mendefinisikan “A concept of marketing communication planning that recognizes the added value of comprehensive plan that evaluates the strategic roles of a variety of communications disciplines – for example, general advertising, direct response, sales promotion and public relations – and combines these disciplines to provide clarity, consistency and maximum communication impact”. Sehingga dapat dipahami bahwa komunikasi pemasaran terpadu terintegrasi mempunyai peranan penting dalam membentuk perencanaan, penerapan dan evaluasi dari suatu strategi pemasaran yang ditinjau dari segi komunikasinya. Kemudian Kotler memapaparkan bahwa setidaknya terdapat 5 hal yang saling terkait dalam konsep Intergrated Marketing Communication, antara lain :

a. Advertising (Periklanan)
Bentuk promosi yang digunakan oleh kebanyakan perusahaan dalam mempromosikan   produknya.
b. Sales Promotion
Promosi jangka pendek yang dilakukan untuk mendorong pembelian sebuah produk atau  jasa.
c. Personal Selling
komunikasi dua arah yang dilakukan bersifat individual sehingga dimanapenjual dan konsumen langsung mendapatkan umpan balik.
d. Public Relation
Pencitraan dan image yang akan dibentuk oleh perusahaan diperlihatkan melalui strategi PR.
e. Direct Marketing
Kegiatan pemasaran dimana interaksi dan komunikasi yang digunakan berhubungan dengan pihak lain dan mendapat respons bersifat langsung.
Dalam pemasaran tentunya selalu ada proses distribusi, yang tidak pernah lepas dari kegiatan retailing. Dalam proses retailing itu sendiri nanti tentunya masih terdapat kegiatan promosi yang dilakukan melalui kegiatan retailing.


2.2 Ritel
Salah satu perantara dalam saluran pemasaran adalah pengecer. Eceran (retailing) mempunyai peranan penting dalam perekonomian dengan menyediakan banyak jenis dan keragaman barang maupun pelayanan. Berman dan Evan menjelaskan ritel merupakan “Retailing consists of those business activities involved in the sale of goods and services to consumers for their personal, family, or household use. It’s the final stage in the distribution process”. Dapat kita simpulkan bahwa perdagangan eceran (ritel) adalah kegiatan menjual barang dan jasa kepada konsumen akhir sehingga ritel merupakan proses akhir dari sebuah distribusi pemasaran.
Klasifikasi Ritel menurut Berman dan Evan (2007:71) adalah sebagai berikut, berdasarkan pada:
1. Harga
Berdasarkan harga ritel dapat diklasifikan menjadi toko diskon, factory outlet dan toko pengecer obral, yang mampu menawarkan harga barang yang lebih murah disbanding toko lain.
2. Kepemilikan
Ritel dapat diklasifikasikan secara luas berdasarkan bentuk kepemilikan independent, bagian dari toko waralaba.
a.  Pengecer independent adalah pengecer yang dimiliki oleh seseorang atau kemitraan dan pengoperasiannya bukanlah bagian dari lembaga eceran yang lebih besar. Pengecer ini tidak bernaung pada pengecer yang lebih besar.
b. Toko berantai, (chain store) adalah toko yang kepemilikannya dan pengoperasinya dilakukan satu kelompok oleh satu organisasi.
c. Waralaba (franchise) merupakan pengecer yang kepemilikan dan pengoperasiannya dilakukan oleh individu akan tetapi memperoleh lisensi dari organisasi pendukung yang lebih besar.

3. Tingkat pelayanan
Berdasarkan tingkat pelayanan maka ritel dapat diklasifikasikan menjadi ritel yang merupakan bagian dari suatu rangkaian dari pelayanan penuh (full service) sampai pelayanan sendiri (self service).
4. Keragaman produk
Ritel juga dapat diklasifikasikan berdasarkan ragam dan varian penyediaan lini produk. Toko khusus (speciality store) sebagai contoh misalnya adalah merupakan toko yang fokus pada ragam produk yang ditawarkan, walaupun dalam lini produk yang tunggal dan sempit akan tetapi menyediakan varian dan jenis produk yang lebih banyak. Kemudian menurut Levy dan Weitz (2007:39) ritel dibagi menjadi 3 bagian utama yaitu food retailer, general merchandise retailer, dan non store retailer.

2.2.1 Food Retailers
Merupakan ritel yang bergerak dalam bidang logistic bahan baku konsumsi sehari-hari dan kebutuhan pangan. Contoh dari food retailers antara lain:
1. Convenience stores
Convenience stores atau toko kebutuhan sehari-hari adalah ritel yang menyediakan ragam barang kebutuhan yang terbatas dengan lokasi yang terjangkau. Biasanya mempunyai lokasi di dekat pemukiman padat penduduk, perumahan, ataupun di kompleks kawasan bisnis terpadu. Contoh : minimarket indomart, alfamart, dan Cirkle K.


2. Supermarkets
Supermarkets adalah food retailers yang pengunjungnya mencari kebutuhan yang diinginkan seperti perlengkapan sehari-hari, daging, perlengkapan yang bukan termasuk makanan seperti perawatan kesehatan, dengan mengambil sendiri barang yang diinginkan kemudian melakukan transaksi pembayaran di kasir. Contoh: Hero, Superindo, Foodmart.
3. Hypermarkets
Sebenarnya hal mendasar yang memberdakan supermarket dengan hypermarkets adalah luas lahan usaha dari keduanya. Hypermarkets merupakan food retail yang mempunyai luas 100.000-300.000 m2. Dibandingkan dengan Supermarkets, Hypermarkets merupakan food retail dan juga termasuk salah satu ritel yang cepat berkembang. Contoh : Hypermart, Giant, Carrefour, Lottemart.
2.2.2 General merchandise retailers
Jika food retailers merupakan ritel yang bergerak dalam bidang kebutuhan makanan dan makanan, maka general merchandise retailers merupakan ritel yang bergerak di bidang penyediaan barang-barang dalam kategori yang lebih luas.
Kategori dan jenis dari General merchandise retailers bisa kita lihat antara lain adalah:
·         Speciality stores merupakan toko khusus yang pada dasarnya juga merupakan toko eceran yang mengkhususkan penyediaan barang fokus usahanya pada suatu jenis barang dagangan tertentu. Contoh: Gramedia, Aquarius, Strawberry, Naughty, Sportstation.
·         Category specialist adalah jenis retail yang merupakan toko berukuran dengan menawarkan barang-barang yang lengkap dengan harga yang rendah.
·         Drugstores adalah toko obat dan merupakan ritel yang bergerak menawarkan produk dan jasa farmasi sebagai fokus kesediaan barang yang dijual. Biasanya drug store juga memberikan resep dan layanan konsultasi kesehatan walaupun dalam skala kecil. Contoh : Kimia Farma, Guardian, Century, K24.
·         Extreme Value Retailers merupakan jenis ritel yang merupakan toko dalam lahan yang berukuran tidak besar dan merupakan jenis toko diskon dengan lini produk yang menawarkan barang walaupun dalam jenis dan varian yang terbatas akan tetapi menawarkan barangnya dengan harga yang sangat murah dibandingkan dengan ritel atau toko lainnya. Biasanya ritel semacam ini terletak di kawasan pecinan. Contoh : Toko Golo Diskon di Pasar Baroe.
·         Department store. menangani beberapa bagian penjualan produk di bawah satu atap, sebuah department store menyediakan variasi produk belanja dan produk-produk khusus secara luas termasuk pakaian, kosmetik, peralatan rumah tangga, alat-alat elektronik dan kadang-kadang mebel. Pembelian biasanya dilakukan masing-masing bagian diperlakukan sebagai pusat pembelian terpisah agar ekonomis dalam promosi, pembelian, pelayanan dan pengawasan. Contoh: Matahari, Yogya, Ramayana.
2.2.3        Non Store Retailers
Kategori berikutnya merupakan non-store retailers yang bergerak dalam bidang usaha penyediaan jenis barang yang lebih fokus pada satu jenis produk barang dengan varian dan jenis yang luas tanpa memerlukan toko fisik di setiap transaksi penjualannya.

1.    Direct Selling        
Direct selling adalah non-store retail yang melakukan promosi penjualan langsung melalui sales people dengan cara mengawarkan produk yang dijual pada target secara langsung dengan penjelasan lebih lanjut mengenai produk yang ditawarkan pada konsumen. Sistem penjualan ini terkadang juga disebut sebagai system jemput bola ( langsung mendekati konsumen tanpa penwaran melalui media lain terlebih dahulu ).
2.    Catalog and Direct Mail Retailers
Catalog retailing merupakan non-store retail dengan penjualan menggunakan catalog sebagai media promosi dan pendekatan pada konsumennya. Contoh: Sophie Martin, Oriflame.
3.    Television Home Shopping merupakan non-store retail dimana menggunakan media promosi melalui suatu program TV dan kemudian melakukan demontrasi produk kepada konsumen. Biasanya television home shopping ini mengiming-imingi konsumennya dengan penawaran diskon melalui transaksi lebih dari satu produk dan potongan harga apabila melakukan pembelian dalam tempo waktu yang tidak terlalu lama setelah penayangan program Television Home Shopping. Contoh: DRTV, Inovation store, Lejel Homeshopping.
4.    Services retailing merupakan jenis non-store retail dimana fokus penawaran bidang usahanya menitikberatkan pada penyediakan pelayanan jasa dibandingkan dengan produk barang yang ditawarkan. Terkadang bahkan service retailing malahan hanya menawarkan dan menjual jasa layanannya tanpa penjualan produk dalam bentuk barang apapun.
5.    Electronic Retailers merupakan jenis non-store retail yang menggunakan pendekatan media internet dalam usaha promosi penawaran barang dan jasanya kepada konsumen. Electronic Retailers ini sendiri terkadang lebih dikenal sebagai online tailing, e-tailling ataupun internet tailing. Contoh: E-bay, Amazon.

Lamb, Hair dan McDaniel memaparkan bauran (retailing mix):
1. Product (keluasaan dan kedalaman keragaman produk)
2. Promotion (periklanan, publisitas dan hubungan masyarakat)
3. Place (tempat)
4. Price (harga)
5. Presentasi (tata letak dan suasana dalam gerai), termasuk di dalamnya adalah
store atmosphere
6. Personalia (pelayanan pelanggan dan penjualan pribadi)
7. Customer service (pelayanan terhadap pelanggan) Atmosfir toko merupakan salah satu elemen yang ada di retailing mix.

• Atmosfir Toko (Store Atmosphere)
      Levi dan Weitz memaparkan store atmosphere adalah “atmospherics refers to the design of an environment via visual communications, lighting, colors, music and scent to stimulate customers perceptual and emotional responses and ultimately to affect their purchase behavior”. Dari pengertian di atas dapat kita lihat bahwa store atmosphere merupakan rancangan dari desain lingkungan melalui komunikasi visual, pencahayaan, warna, musik, dan penciuman yang dimaksudkan untuk merangsang persepsi dan emosi hingga mempengaruhi perilaku belanja konsumen. Sedangkan Lamb, Hair dan McDaniel mendefinikasikan store atmosphere adalah kesan keseluruhan yang ingin disampaikan oleh tata letak fisik toko, dekorasi dan lingkungan sekitarnya. Definisi tersebut hampir sama dengan definisi yang disampaikan menurut Berman (2001;602), suasana lingkungan toko basic retailer berdasarkan karakteristik fisik yang biasanya digunakan untuk membangun kesan dan menarik pelanggan. Dari beberapa uraian definisi di atas dapat kita simpulkan bahwa store atmosphere merupakan segala kesan keseluruhan yang ingin disampaikan oleh sebuah toko melalui pola tata letak fisik, dekorasi dan lingkungan terkait toko tersebut untuk menarik ketertarikan pelanggan terhadap toko dan mempengaruhi perilaku berbelanja konsumen pada toko tersebut.
Lamb, Hair, dan Mc. Daniel (2001), menjelaskan terdapat tujuan lain daristore atmosphere selain menarik perhatian konsumen, yaitu antara lain adalah:
1.    Membangun citra toko di mata konsumen.
2.    Pola kenyamanan dan kemudahan dalam berbelanja dibentuk melalui Atmosfir took (store atmosphere), dimana tujuan akhirnya adalah mempengaruhi pola perilaku belanja konsumen.
Atmosfir toko (store atmosphere) merupakan cara yang dilakukan oleh sebuah toko untuk mempengaruhi konsumen ketika sedang berada di dalam took tersebut. Hal ini sering tidak disadari oleh konsumen. Menurut Lamb, Hair dan Daniel berikut adalah faktor yang mempengaruhi store atmosphere:
a.  Jenis kenyamanan dan kepadatan
Sebagai contoh antara lain adalah pelayanan dari karyawan yang berorientasi pada konsumen melalui kerapihan pakaian, sikap yang ramah dan informasi yang jelas pada konsumen. Luas bangunan toko dan daya tamping pengunjung seimbang dan tidak menimbulkan kepadatan juga merupakan salah satu contoh dari faktor kenyamanan konsumen.
b. Jenis barang dagangan dan pola penataannya
Pola penataan barang yang rapi dan menarik serta penempatan barang dagangan yang mudah ditemukan akan membuat kemudahan bagi konsumen dalam memilih barang dagangan yang akan dibeli. Bentuk pola penataan dan penempatan suatu barang dagangan dalam toko akan sangat menentukan suasana berbelanja di dalam toko.



c. Jenis peralatan furniture permanen
jaman Pemilihan bahan dasar dari peralatan serta furniture permanen dari suatu took menunjukan karakter dan suasana toko. Misalnya pemilihan stainless steel memberikan kesan minimalis dan trendy, sehingga konsumen merasa berbelanja di dalam toko yang mengikuti perkembangan.
d. Pemilihan latar bunyi suara
Latar bunyi suara ini didefinisikan sebagai pemilihan backsound irama melodi atau lagu yang membentuk karakter dari sebuah toko dan kenyaman dari konsumen. Pemilihan lagu yang soft dan easy listening biasanya akan membuat konsumen betah untuk melakukan aktivitas di dalam toko walaupun dalam jangka waktu yang cukup lama.

Pada dasarnya atmosfir toko (store atmosphere) adalah langkah yang ditempuh oleh toko untuk membangun suatu kondisi emosional antara took dengan konsumen yang terkadang memang sebenarnya tidak terlalu disadari oleh konsumen itu sendiri. Beberapa atribut yang digunakan dalam store atmosphere antara lain dengan membuat kedekatan emosioal melalui indera manusia, yaitu penglihatan (sight), pendengaran (sounds), penciuman (smell), peraba (touch).
·           Sight Appeal
Sight Appeal merupakan atribut yang berkaitang dengan indra penglihatan manusia yang bertujuan untuk memberi informasi yang lebih banyak dan detail dibandingkan dengan indra lainnya Sight appeal merangsang konsumen untuk menstimuli kondisi visual yang dilihat dengan apa yang dia pikirkan hingga menimbulkan sebuah kondisi emosional, tertarik atau tidak, suka atau tidak. Terdapat tiga stimuli visual yang bisa dioptimalkan oleh toko dalam sight appeals ini antara lain ukuran, bentuk,dan warna.
·           Sound Appeal
Sound Appeal merupakan pendekatan melalui indra pendengaran manusia. Suara dapat membangun kondisi emosi yang ingin disampaikan oleh took kepada konsumennya, sebagai contoh adalah memperdengarkan music “Jingle Bells” sebagai pendekatan kepada konsumen bahwa toko tersebut berusaha mendekatkan diri pada kaum Nasrani yang merayakan Natal. Terlepas dari pilihan musik sebuah toko ketika occasional, musik harus sesuai dengan citra dan image toko. Sounds appeal tidak hanya mengenai musik, akan tetapi terkadang mengenai informasi suatu promo yang sedang berlangsung pada toko tersebut, car call, lost and found, dan pemberian pengumuman mengenai suatu informasi.
·           Scent Appeal
Scent Appeal merupakan pendekatan melalui indra penciuman. Sebenarnya tujuan utama dari pendekatan indra penciuman ini adalah menghindari bau yang tidak sedap yang menimbulkan ketidaknyamanan. Beberapa aroma yang sering digunakan dalam scent appeal antara lain adalah aromatherapy sebagai pendekatan dalam menciptakan kesan rileksasi, aroma antiseptic mencerminkan kebersihan.
Atmosfir Toko (Store atmosphere) sendiri terdiri dari empat elemen dimana masing-masing elemen kemudian mempunyai sub elemen (Berman and Evan, 2001) antara lain, yaitu:

1. Exterior (bagian depan toko)
Merupakan bagian toko paling depan. Exterior merupakan bagian yang biasanya dilihat pertama kali oleh konsumen karena itulah maka exterior ini harus dapat menampilkan image yang ingin disampaikan oleh toko tersebut dan dibuat semenarik mungkin sehingga konsumen dapat melihat keunikan dan khas dari toko tersebut dibandingkan dengan toko lain karena eksterior sendiri berfungsi sebagai identifikasi atau tanda pengenalan.





2. General Interior
General interior dari suatu toko harus dirancang untuk memperoleh kesan yang menyenangkan bagi konsumen. Kesan general interior ini dapat diciptakan melalui backsound music yang diputar di dalam toko, warna dinding, pencahayaan, pilihan parfum pewangi ruangan.

3. Store Layout (tata letak)
Merupakan rencana untuk menentukan lokasi tertentu dan pengaturan dari peralatan barang dagangan di dalam toko serta fasilitas toko. Layout toko akan mengundang masuk atau menyebabkan pelanggan menjauhi toko tersebut ketika konsumen melihat bagian dalam toko melalui jendela etalase atau pintu masuk. Layout toko yang baik adalah yang mampu menarik konsumen untuk masuk kedalam toko kemudian nyaman dalam memilih dan melihat barang-barang sehingga diharapkan dapat menciptakan proses pembelian.

4. Interior (Point-Of-Purchase) Displays
Setiap jenis POP display menyediakan informasi kepada pelanggan untuk mempengaruhi suasana lingkungan toko. Tujuan utamanya adalah untuk meningkatkan penjualan dan laba toko. Pop display ini antara lain adalah poster, tanda penunjuk lokasi, display barang pada hari khusus seperti lebaran dan tahun baru.








2.3 Minat Beli Konsumen

Dalam rangka menarik perhatian atau menarik minat beli konsumen terlebih dahulu produsen harus memahami bagaimana konsumen perilaku konsumen dalam mengambil keputusan. Menurut Philip Kotler (2003:568), “Minat beli adalah tahapan yang dilakukan oleh konsumen sebelum merencanakan untuk membeli suatu produk”. Sedangkan Menurut E. Jerome Mc. Carthy (2002:298), “Minat beli merupakan dorongan yang timbul dalam diri seseorang untuk membeli barang atau jasa dalam rangka pemenuhan kebutuhannya”.
Sedangkan menurut Mowen (1995), menyatakan “minat beli merupakan kecenderungan konsumen untuk membeli suatu merek atau mengambil tindakan yang berhubungan dengan pembelian yang diukur dengan tingkat kemungkinan konsumen melakukan pembelian.” Definisi yang hampir sama dikemukakan oleh Peter dan Olson (1999) “minat beli sebagai kecenderungan konsumen untuk membeli suatu merek atau mengambil tindakan yang berhubungan dengan pembelian yang diukur dengan tingkat kemungkinan konsumen melakukan pembelian”.
Pendapat lain Sutisna dan Pawitra (2001), mengatakan bahwa minat beli merupakan sesuatu yang berhubungan dengan rencana konsumen untuk membeli produk tertentu serta berapa banyak unit produk yang dibutuhkan pada periode tertentu. Lebih lanjut dijelaskan bahwa minat beli merupakan instruksi diri konsumen untuk melakukan pembelian atas suatu produk, melakukan perencanaan, mengambil tindakan-tindakan yang relevan seperti mengusulkan (pemrakasa) merekomendasikan (influencer), memilih, dan akhirnya mengambil keputusan untuk melakukan pembelian.
Dari penjelasan mengenai minat beli di atas, maka dapat disimpulakan bahwa minat beli merupakan suatu suatu dorongan dari proses perencanaan pembelian suatu produk yang akan dilakukan oleh konsumen dengan mempertimbangakan beberapa hal, diantaranya adalah banyak unit produk yang dibutuhkan dalam periode waktu tertentu, merek, dan sikap konsumen dalam mengkonsumsi produk tersebut.
Untuk menjelaskan tahapan minat beli maka demikian paparan tahapannya melalui Konsep AIDA. Konsep model AIDA merupakan rangkaian atau tahap pelanggan bisnis dalam menentukan minat beli atau menentukan dorongan konsumen dalam melakukan pembelian terhadap produk atau jasa yang ditawarkan. Tahap-tahap model AIDA di antaranya :
1. Attention
Merupakan tahap awal dalam menilai suatu produk atau jasanya yang dibutuhkan calon pelanggan, dimana dlam tahap ini calon pelanggan nilai mempelajari produk/jasa yang ditawarkan.
2. Interest
Minat calon pelanggan timbul setelah mendapatkan informasi yang lebih terperinci mengamati produk/jasa.
3. Desire
Calon pelanggan memikirkan serta berdiskusi yang menyebabkan keinginan dan hasrat untuk membeli produk / jasa yang ditawarkan. Dalam tahapan ini calon pelanggan harus maju serta tingkat dari sekedar tertarik akan produk. Tahap ini ditandai dengan hasrat yang kuat dari calon pelanggan untuk membeli dan mencoba produk.
4. Action
Melakukan pengambilan keputusan yang pasif atas penawaran. Pada tahap ini calon pelanggan yang telah mengunjungi perusahaan akan mempunyai tingkat kemantapan akan membeli atau menggunakan suatu produk yang ditawarkan.

Pada penelitian ini peneliti hanya ingin melihat minat beli konsumen sehingga pada tahapan AIDA hanya akan dijabarkan menjadi tahap Attention dan Interest pada Operasionalisasi Konsep. Attention akan dipakai sebagai dimensi untuk mengukur perhatian dari konsumen terhadap ketertarikan pada produk yang ditawarkan. Dan Interest akan dipakai sebagai dimensi untuk mengukur keinginan dan minat membeli konsumen terhadap suatu produk.

2.4 Hubungan Antar Konsep

Hubungan antar konsep ini menjelaskan keterkaitan konsep (hubungan) antara atmosfir toko dan minat beli. Rusdian (1999), menyatakan bahwa strategi atmosfir toko adalah suatu strategi dengan melibatkan berbagai atribut store untuk menarik keputusan pembelian konsumen. Pendapat ini didukung oleh pendapat yang mengatakan bahwa atmosfir toko dapat mempengaruhi keadaan emosinal positif pembeli dan keadaan tersebutlah yang dapat menyebabkan pembelian terjadi. Keadaan emosional yang positif akan membuat dua perasaan yang dominan yaitu perasaan senang dan membangkitkan keinginan (Sutisna dan Pawitra: 2001). Schlosser (1998) mengatakan bahwa seorang konsumen sering menilai sebuah toko pada kesan pertamanya dilihat dari atmosfer toko tersebut, baik itu berupa tata letak, pencahayaan, musik, warna toko, dan tata ruangnya. Dan hal ini sering juga menjadi alasan mengapa seorang konsumen memiliki minat atau tidak untuk berbelanja di toko tersebut. Pendapat ini didukung oleh Cooper (1981) yang mengatakan bahwa atmosfer toko yang memiliki keindahan akan membentuk citra positif di benak konsumen terhadap toko tersebut, dan jika hal tersebut berlangsung lama maka kecenderungan konsumen untuk memilih toko tersebut sangat tinggi. Greenberg, et al (1988) dan Rich & Portis (1964) juga menambahkan bahwa sebuah toko yang memiliki atmosfer, seperti toko yang memiliki “kepribadian” dan hal ini yang dapat menjadikan atmosfer tersebut  sebagai alat komunikasi sebuah toko kepada konsumen. Sebuah toko yang memiliki “kepribadian” yang baik (dalam hal ini atmosfir) akan memiliki tingkat kemungkinan dipilih oleh konsumen lebih tinggi dibandingkan dengan yang tidak baik. Hal ini sesuai dengan teori perilaku konsumen yang menjelaskan tentang keterkaitan antara aspek afektif dan perilaku dalam manusia (Kotler 2005). Dalam teori tersebut dikatakan bahwa perilaku muncul akibat dari afektif (perasaan) yang dimiliki oleh konsumen. Mengacu pada teori tersebut maka jika konsumen memiliki afektif yang baik terhadap produk atau jasa, terdapat kemungkinan konsumen melakukan pembelian atas produk tersebut.
Berdasarkan penjelasan tersebut, bisa dipahami bahwa terdapat hubungan antara dengan atmosfir toko dan minat beli, karena atmosfir toko dapat mempengaruhi minat beli konsumen. Untuk itu, dipahami bahwa antara konsep atmosfir toko dan minat beli konsumen saling berkorelasi karena diantara setiap variabel ini saling mempengaruhi.

2.5 Model Analisis
Berdasarkan definisi konseptual di atas, dapat dirancang model analisis untuk menghubungkan kedua variabel penelitian. Atmosfir toko merupakan variabel independen dari model penelitian ini, sedangkan minat beli konsumen adalah variabel dependen dari penelitian ini. Objek penelitian ini Toko Mirota Batik Yogyakarta. Model analisis yang dapat digunakan dalam penelitian adalah sebagai berikut :
2.6 Hipotesis Teori
Secara logika dengan penarikan kesimpulan secara silogisme, maka hipotesis teori yang ada adalah:
• Adanya pengaruh antara variabel Atmosfir Toko dengan minat beli konsumen


BAB 3
METODOLOGI
3.1 Paradigma Penelitian
Penelitian ini menggunakan paradigma positivis, karena peneliti ingin menemukan atau memperoleh konfirmasi tentang hubungan sebab akibat yang biasa dipergunakan untuk memprediksi pola-pola umum suatu gejala sosial. Paradigma positivis adalah metode yang terorganisir untuk mengkombinasikan logika deduktif dan pengamatan empiris, guna secara probabilistik menemukan suatu hukum sebab-akibat agar orang-orang dapat memprediksi pola-pola umum gejala sosial tertentu. (Neuman, 2003, p.71). Dalam paradigma positivis, peneliti memandang bahwa realitas sosial ada dan berada “di luar sana” yang siap untuk diungkap, serta ada hukum-hukum dan mekanisme alamiah dan bersifat universal yang mengaturnya. (Neuman, 2003).
Paradigma positivis melihat objek penelitian memiliki keberaturan yang naturalistik, empiris dan behavioristik, di mana semua objek penelitian harus dapat direduksi menjadi fakta yang dapat diamati, tidak terlalu mementingkan fakta sebagai makna namun mementingkan fenomena yang tampak, serta serba bebas nilai atau objektif dengan menentang habis-habis sikap-sikap subjektif (Bungin, 2006).
3.2 Pendekatan Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif. Tujuan digunakan pendekatan kuantitatif dikarenakan peneliti berusaha menemukan kebenaran yang berlaku universal atau umum untuk suatu topik yang diteliti serta menguji teori dan hipotesis. (Neuman, 2003).


Penelitian kuantitatif merupakan penelitian yang berawal dari pengujian hipotesis, pembuatan pengukuran secara sistematis sebelum untuk mengumpulkan data, data yang telah diperoleh dibuat untuk pengukuran, teori yang digunakan umumnya sebab akibat dan deduktif, analisis menggunakan statistik, table diagram, kemudian pemaparan bagaimana hubungan teori dengan hipotesis.
3.3 Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian eksplanasi. Tujuan dari penelitian eksplanasi (Neuman, 2003, p.74), yaitu:
1. Menjelaskan secara akurat sebuah teori
2. Mencari penjelasan yang lebih baik mengenai sebuah topic
3. Mengembangkan pengetahuan yang lebih jauh mengenai sebuah proses
4. Menghubungkan topik-topik yang berbeda namun memiliki kesamaan dalam   pernyataan
5. Membangun dan memodifikasi sebuah teori sehingga menjadi lengkap
6. Mempertahankan sebuah teori dalam topik baru
7. Menghasilkan bukti untuk mendukung sebuah penjelasan atau prediksi
3.4 Metode Pengumpulan Data
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan teknik penelitian survey. Dalam penelitian survey, seorang peneliti mengajukan pertanyaan, yang telah tersusun dalam kuesioner. Penelitian ini akan menggunakan instrument penelitian berupa kuesioner dengan pertanyaan terstruktur, untuk menjaga agar temuan dan pengetahuan yang didapat dari responden tetap pada jalur yang ingin diamati. Teknik pengumpulan data dilakukan melalui survey dengan mengajukan kuesioner berisi pertanyaan-pertanyaan tertutup kepada responden secara terstruktur dan alternative jawabannya sudah ditentukan.
3.4.1 Data Primer
Data primer merupakan data yang dikumpulkan serta diolah oleh peneliti yang didapatkan langsung dari objek penelitian. Untuk mendapatkan data ini, peneliti menggunakan metode wawancara berstruktur dengan menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpulan data. Kuesioner disebarkan kepada responden yang sudah ditentukan sebelumnya.
3.4.2 Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang diperoleh peneliti dalam bentuk yang sudah jadi. Data ini dikumpulkan dan diolah oleh pihak lain yang biasanya sudah dalam bentuk publikasi (Santoso, Tjiptono, 2004). Data sekunder berguna sebagai penunjang informasi dalam penelitian. Peneliti memperoleh data sekunder untuk penelitian ini melalui artikel, situs, dan jurnal di internet.
3.4.3 Populasi dan Sampel
3.4.3.1 Populasi
Populasi merupakan keseluruhan gejala atau satuan yang ingin diteliti. Populasi adalah keseluruhan objek penelitian baik terdiri dari benda yang nyata, abstrak, peristiwa ataupun gejala yang merupakan sumber data dan memiliki karakter tertentu yang sama. (Sukandarrumidi, 2006, p.47 )
Pada penelitian ini yang dijadikan populasi adalah pengunjung Mirota Batik Yogyakarta yaitu laki-laki atau perempuan yang berusia 18-50 tahun, dengan SSE A-C atau memiliki daya beli, dan tergabung dalam group ”Mirota Batik ”Mirota Batik Jogja”

Sampel adalah dugaan sifat-sifat suatu kumpulan objek penelitian hanya dengan mempelajari dan mengamati sebagian dari kumpulan itu. Sampel sebagai bagian dari populasi yang memiliki karakteristik serupa dengan dengan populasi.

3.4.3.2 Sampel
Sampel merupakan bagian dari populasi yang ingin diteliti dan dianggap dapat menggambarkan populasi yang diwakilinya. (Soehartono, 1995, p. 59). Dengan demikian sampel harus dipandang sebagai suatu pendugaan terhadap populasi dan bukan populasi itu sendiri. (Bailey, 1994, p.83 ). Beberapa ide dasar mengenai sampel menurut Purwadi (2000, p.125) yaitu:
1. Mencari informasi atau pengetahuan tentang keseluruhan objek atau gejala yang diteliti (populasi)
2. Mengamati sebagian dari objek atau gejala yang diteliti (sampel)
3. Menarik kesimpulan tentang keseluruhan objek atau gejala yang diteliti.
Untuk menentukan sampel yang akan dipakai dalam penelitian dilakukan dengan sampling. Sampling merupakan pemilihan sampel dari populasi yang bertujuan mendapatkan kesimpulan umum mengenai populasi berdasarkan hasil penelitian terhadap sampel yang dipilih. (Purwadi, 2000, p.125 ).
Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas objek atau subjek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya (Sugiyono,2005,p.55). Populasi sendiripun dapat diartikan sebagai aturan satuan yang ingin diteliti atau jumlah total manusia yang cocok dijadikan responden atau yang cukup relevan dengan suatu penelitian (Neuman,2000,p.249).
Populasi yang diambil oleh peneliti adalah jumlah likes pada facebook Mirota Batik Jogja yang berjumlah 13.541 likes tertanggal 20 Oktober 2011. Populasi ini diambil sebagai pertimbangan karena konsumen yang melakukan likes pada facebook Mirota Batik Jogja tentunya merupakan konsumen yang pernah berkunjung dan paling tidak tertarik dengan Mirota Batik Jogja. Kemudian sampel adalah bagian dari populasi (Kountur,2004,p.137). Peneliti menggunakan penghitungan sampel yang dihitung menggunakan rumus Slovin (Kriyanto, 2007), dengan pertimbangan jumlah populasinya terhingga dan diketahui jumlahnya. Berikut adalah rumus Slovin :

dimana :
n  =   Jumlah sampel
N =   Jumlah populasi
e = Prosentase kelonggaran ketidaktelitian karena kesalahan pengambilan sampel yang masih bisa ditolerir.
Dari hasil rumus diatas, maka diperoleh jumlah sampel yang akan diambil dalam penelitian ini adalah 99,26 orang dari jumlah populasi sebanyak 13.541 orang dan e-nya adalah 10%. Sebagai bentuk kemudahan dan kenyamanan untuk penelitian maka jumlah ini dibulatkan menjadi 100 orang yang menjadi fanpage facebook Mirota Batik Jogja. Jumlah ini tergolong dapat diterima serta dapat merepresentasikan serta mewakili populasi sesuai dengan standar minimum penelitian.
3.5       Teknik Penarikan Sampel
Teknik penarikan sampel adalah sebuah teknik yang digunakan untuk menyeleksi individu dari populasi yang dapat menghasilkan sampel yang representative (Supramono dan Sugiarto,1993,p.149). Sedangkan teknik sampling digunakan untuk mengetahui berapa banyak elemen populasi yang akan diambil sebagai anggota sample (Umar,2007,p.129).
Terdapat dua teknik pengambilan sampel yaitu probabilita dan non- probabilita. Teknik penarikan sampel probabilita yaitu pengambilan sampel memberikan peluang yang sama bagi setiap unsur populasi untuk menjadi sampel. Sedangkan teknik penarikan sampel non-probabilita, yaitu bila peneliti tidak memberikan peluang yang Sama bagi semua anggota populasi (Ruslan,2003,p.142).
Karena peneliti tidak dapat membentuk kerangka sampel yang jelas maka peneliti menggunakan teknik penarikan sampel non-probabilita. Dan kemudian Peneliti menggunakan metode purposive sampling sebagai Cara untuk memperoleh sampel dengan teknik non-probabilita yaitu sampel yang dipilih dengan criteria tertentu (Sugiyono, 2005,p.78). Purposive sampling biasanya digunakan untuk memilih responden yang susah untuk ditemui atau responden yang sudah dikhususkan (Neuman,2000,p.222).
Peneliti menggunakan kriteria sampel dimana seluruh populasi merupakan konsumen yang pernah berkunjung ke Mirota Batik Jogja, karena hal yang menjadi fokus peneliti adalah ingin melihat minat beli konsumen pada atmosfir toko Mirota Batik Jogja. Kriteria sampel berikutnya adalah konsumen yang melakukan likes pada fan page Mirota Batik Jogja, dikarenakan sebagai bentuk kemudahan konsumen dalam menentukan populasi serta sampel penelitian karena Mirota Batik tidak mempunyai sistem membership atau data mengenai siapa saja yang berkunjung di Mirota Batik Jogja. Konsumen yang melakukan likes pada fan page Mirota Batik tentunya merupakan konsumen yang sudah pernah berkunjung dan tertarik pada Mirota Batik Jogja.
Pre-test diadakan untuk menyempurnakan kuisioner yang secara spesifik bertujuan untuk mengetahui beberapa hal seperti ( Singarimbun, 1996, p.183) :
a. Apakah semua pertanyaan yang diajukan peneliti, relevan untuk responden.
b. Apakah ada pertanyaan yang perlu ditambah oleh peneliti, karena ada Kalanya peneliti lupa memasukkan pertanyaan yang perlu dicantumkan.
c. Apakah setiap pertanyaan dapat dimengerti dengan baik oleh responden.
d. Berapa lama waktu yang dibutuhkan dalam pengisian kuisioner. Dari uraian Diatas, peneliti kemudian melakukan pre-test kepada 30 responden.
3.6 Uji Instrumen
3.6.1 Uji Reliabilitas
Reabilitas adalah suatu metode pengukuran kualitas instrumen pengukuran untuk melihat terdapat perolehan hasil yang sama jika observasi dilakukan dengan menggunakan alat ukur yang sama pada fenomena yang juga sama yang dilakukan lebih dari sekali atau berulang kali. Reliabilitas berkaitan degan keterandalan dan konsistensi suatu indikator dengan mengukur tingkat akurasi dan presisi dari jawaban yang mungkin dari beberapa pertanyaan ( Neuman, 2003, p.179).
Peneliti menggunakan metode pengukuran Coefficient Cronbach’s Alpha sebagai uji reliabilitas, yaitu rata-rata dari semua koefisien korelasi belah dua yang mungkin dibuat dari suatu alat ukur ( Bailey, 1994, p.36 ). Nilai Alpha berfungsi sebagai alat untuk mengetahui konsistensi antar indikator yang digunakan. Standar nilai alpha yang digunakan adalah 0,5 dimana diartikan bahwa indikator yang digunakan sesuai untuk mengukur konsep yang diusung. Sedangkan apabila nilai yang diperoleh berada di bawah 0,5 dapat dilihat bahwa alat ukur yang dibuat tidak reliabel.
3.6.2 Uji Validitas
Uji validitas dilakukan karena validitas berkaitan dengan kesesuaian antara suatu batasan konseptual yang diberikan bantuan operasional yang telah dikembangkan (Walizer, Mienir, 1991). Indikator yang digunakan harus indicator yang tidak hanya reliable, tapi juga harus valid. Validitas diperlukan untuk mengetahui indikator pertanyaan yang kita pakai apakah sudah benar mengukur hal yang akan diukur.
Validitas yang digunakan dalam penelitian ini adalah validitas isi. Validitas isi menjelaskan apakah semua ide dan konsep yang terkandung dalam definisi konseptual tercakup dalam perangkat ukur (Walizer, Mienir, 1991, p.115). Dalam penelitian ini validitas diukur dengan menggunakan prosedur Analisis Faktor. Analisis Faktor pada prinsipnya digunakan untuk mereduksi data, yaitu proses untuk meringkas sejumlah variabel menjadi lebih sedikit dan menamakannya sebagai faktor. (Santoso, Tjiptono, 2004, p.250). Analisis Faktor bekerja berdasarkan matrik korelasi yang akan difaktorkan. Dasar pemikirannya adalah jika korelasi di antara variabel cukup kuat, maka akan terjadi pengelompokkan. Namun, jika korelasi lemah, maka variabel tersebut dikeluarkan dari faktor.
Analisis faktor yang peneliti gunakan adalah confirmatory factor analysis, dimana diperlukan sejumlah teori yang akan digunakan untuk membangun hipotesis. Sehingga sering juga dikenal sebagai teknik untuk menguji suatu teori. Angka KMO (Kaiser Meyen Oikin) akan dipergunakan untuk melihat validitas ini yang juga merupakan syarat untuk melakukan faktor analisis. Skor KMO yang tinggi yakni berkisar antara 0.5-1.0 mengindikasikan bahwa suatu variabel layak dipergunakan sebagai alat ukur penelitian (“Factor Analysis”).
3.7 Metode Analisis Data
3.7.1 Uji Normalitas
Uji normalitas data dilakukan sebelum data diolah berdasarkan model-model penelitian atau prosedur statistika yang diajukan. Uji normalitas data bertujuan untuk mendeteksi distribusi data dalam suatu variabel yang akan digunakan dalam penelitian. Dengan kata lain, uji normalitas dilakukan untuk memeriksa apakah data penelitian berasal dari populasi yang sebarannya normal. Jika distribusi data diasumsikan normal, maka analisis dengan menggunakan statistik dapat digunakan untuk mengukur data tersebut.
Pada penelitian ini uji normalitas dilakukan dengan menggunakan uji beda Zscore. Konsep dasar dari uji beda Zscore adalah dengan membandingkan nilai korelasi variabel yang sudah diubah menjadi Zscore dengan nilai korelasi variabel-variabel sebelum diubah menjadi Zscore. Kelebihan dari uji ini adalah sederhana dan tidak menimbulkan perbedaan persepsi di antara satu pengamat dengan pengamat yang lain, yang sering terjadi pada uji normalitas dengan menggunakan grafik (“Kolmogorov Smirnov Test”).
3.7.2 Analisis Deskriptif
Pada tahap awal pengolahan data, dilakukannya uji dengan menggunakan analisis deskriptif. Analisis deskriptif digunakan untuk mengumpulkan, meringkas, menyajikan, dan mendeskripsikan data. Data yang disajikan biasanya dalam bentuk ukuran pemusatan data (mean, median, modus), ukuran penyebaran data (standar deviasi dan varians), tabel, serta grafik (histogram, pie, dan bar).
Dalam penelitian, metode ini digunakan untuk mendapatkan gambaran secara deskriptif bagaimana atmosfir toko terhadap Minat Beli Konsumen pada Mirota Batik Yogyakarta.

3.7.3 Analisis Univariat
Analisis univariat dilakukan dengan menampilkan tabel-tabel frekuensi dari data-data yang telah diolah. Metode yang digunakan dalam analisis univariat adalah dengan analisis deskriptif frekuensi, dimana analisis akan menampilkan semua data yang ada bukan dalam bentuk range atau data interval. Mean, Median, Modus, dan standar deviasi dari tiap indiaktor merupakan elemen-elemen yang digunakan dalam melakukan analisis univariat. Dengan menggunakan elemen- elemen tersebut dapat dilihat gambaran mengenai karakteristik responden yang ada, serta untuk melihat atmosfir toko, minat beli.
3.7.4 Analisis Bivariat
Uji bivariat dilakukan untuk melihat ada tidaknya hubungan antar variabel. Selain itu, uji ini juga dilakukan untuk melihat seberapa besar kekuatan hubungan. Dalam penelitian ini uji bivariat dilakukan untuk melihat pengaruh hubungan antara store atmosphere dengan minat beli konsumen. Metode pengujian bivariat dalam penelitian ini menggunakan Uji Korelasi Spearmans.
Untuk menguji hipotesis penelitian dalam penelitian ini diuji dengan uji statistik nonparametric, yakni korelasi “Rank Spearman” untuk melihat hubungan antara variabel Atmosfir Toko dan minat beli.
Setelah mengetahui ada tidaknya hubungan dan kekuatan hubungan antar variabel, langkah selanjutnya adalah melakukan analisis regresi. Tujuan dari analisis regresi adalah untuk memprediksi seberapa besar variabel dependen menjelaskan variabel independen. Metode analisis regresi dibagi menjadi 2 yaitu analisis regresi sederhana dan regresi berganda (multiple regression). Regeresi sederhana digunakan apabila variabel independen hanya ada satu. Sedangkan regresi berganda (multiple regression) digunakan apabila variabel independen lebih dari satu. Dalam penelitian ini yang metode analisis regresi yang akan digunakan adalah regresi sederhana karena varibel independen hanya ada satu. Dalam melihat ada tidaknya pengaruh antara variabel dependen dan independen menurut Neuman (Neuman. 2003. p55-57) terdapat tiga syarat yang harus dipenuhi. Pertama yaitu temporal order yaitu keadaan dimana memang ada keadaan sebab akibat atau memang ada keadaan dimana variabel dependen mendahului variabel independen. Kedua yaitu adanya asosiasi dimana memang ada hubungan yang terjadi antara variabel dependen dan variabel independen. Ketiga yaitu eliminasi alternatif yang memugkinkan, maksudnya tidak ada variabel semu atau variabel lain antara variabel dependen dan variable independen.
3.8 Metode Pengukuran
3.8.1 Operasionalisasi Konsep
3.8.1.1 Atmosfir Toko (Store Atmosphere)
Peneliti ingin mengetahui tentang Atmosfir Toko (Store Atmosphere) pada Mirota Batik Yogyakarta. Variabel yang digunakan oleh peneliti diturunkan menjadi 4 dimensi yaitu General Exterior, Interior, Store Layout dan Interior Point-of-Purchase Display. Masing-masing dimensi kemudian diturunkan ke tingkat indikator. Seluruh indikator diukur dengan menggunakan skala Likert 1-4 untuk melihat tingkat kesetujuan responden terhadap pernyataan yang diajukan oleh peneliti dengan ketentuan sebagai berikut:
STS = Sangat Tidak Setuju (1)
TS = Tidak Setuju (2)
S = Setuju (3)
SS = Sangat Setuju (4)



3.8.1.2 Minat Beli Konsumen
Peneliti ingin mengetahui tentang Minat Beli pada Mirota Batik Yogyakarta. Seluruh indikator diukur dengan menggunakan skala Likert 1-4 untuk melihat tingkat kesetujuan responden terhadap pernyataan yang diajukan oleh peneliti dengan ketentuan sebagai berikut:
STS = Sangat Tidak Setuju (1)
TS   = Tidak Setuju (2)
S     = Setuju (3)
SS   = Sangat Setuju (4)
3.9 Hipotesis Penelitian
1. Adanya hubungan pengaruh antara atmosfir toko dengan Minat Beli konsumen.
2. Semakin menarik atmosfir toko maka semakin tinggi pula Minat Beli konsumen

3.10 Keterbatas dan Kelemahan Penelitian
3.10.1 Keterbatasan Penelitian
1. Digunakannnya pertanyaan tertutup membuat peneliti tidak dapat mengetahui alasan mengapa responden memilih jawaban mereka. Selain itu juga membatasi resonden dalam menjawab.
2. Kemungkinan masih ada indikator-indikator lain dalam Store Atmosphere yang bisa mempengaruhi minat beli konsumen tetapi tidak diikutsertakan dalam penelitian. Hal ini disebabkan pemilihan indikator dilakukan berdasarkan teori yang ada dan fokus penelitian.

3.10.2 Kelemahan Penelitian
1. Survey dilakukan via email dan message facebook sehingga mungkin saja terjadi kesalahan interpretasi responden terhadap pertanyaan karena tidak dibaca dengan seksama.
2. Jumlah pertanyaan pada kuesioner yang cukup banyak membuat responden tidak terlalu membaca dengan seksama setiap kalimatnya karena mengira pertanyaan-pertanyaan ada kuesioner tidak terlalu berbeda satu dengan yang lainnya, sehingga mungkin saja meningkatkan kecenderungan untuk menyamaratakan jawaban.

DAFTAR REFERENSI
Buku
Aaker, David D., V. Kumar, & George S. Day. 2000. Marketing Research 7th ed. New York : John Wiley & Sons Inc.
Adiwijaya, Michael. 2010. 8 Jurus Jitu Mengelola Bisnis Ritel ala Indonesia. Jakarta : PT. Elex Media Komputindo.
Amir, M.T. (2004). Manajemen Ritel Panduan Lengkap Pengelolaan Toko Moderen. Jakarta : PPM,
Babbie, Earl. 1992. The Practice of Social Research. Belmont : Wadsworth Thomson Learning
Bailey, Kenneth D. 1994. Methods of Social Research, 4th editions. USA: The Free Press.
Berman, Berry, and Joel R Evans, 2007. Retail Management, 10th edition, New Jersey : Prentice Hall Inc.
Blackwell, R. D., Miniard, P. W., & Engel, J. F. (2001). Consumer Behaviour. Texas: Harcourt College Publishers.
Bungin, Burhan. 2009. Metode Penelitian Kuantitatif: Komunikasi, ekonomi, dan kebijakan publik serta ilmu-ilmu sosial lainnya. Jakarta: Kencana
Cannon, J. P., Perreault, W. D., & McCarthy, E. J. (2008). Basic Marketing: A Global Managerial Approach 7th Edition. New York: McGraw-Hill.

JURNAL ILMIAH
Astuti, S.W. dan Setiawan, F. (2007). Analisis Pengaruh Citra Toko Terhadap Loyalitas Pelanggan Hypermarket Carrefour ITC Surabaya Mega Grosir. Jurnal Ekstra, Tahun XVII, No 3, hal. 320-332.

Astuti, S.W. (2006), Pengaruh Lingkungan Toko Terhadap Kriteria PemilihanToko dan Dampaknya Pada Minat Re-Visiting Pembelanja Muda ke “Department Store” di Surabaya. Journal of Business and Management, Vol. 1, No. 1, hal. 13-32.
Els Breugelmans, Katia Campob. ( 2011 ). Effectiveness of In-Store Displays in a Virtual Store Environment. Journal of Retailing 87 (1, 2011) 75–89
Gunawan, S., Rilantiana, R., dan Kusumasondjaja, S. (2009), Pengaruh Persepsi Desain Toko Terhadap Store Repatronage Intentions dengan Shopping Experience Costs Sebagai Intervening di Toko Elektronik “X” Surabaya. Jurnal Manajemen Teori dan Terapan, Vol. 2, No 1, hal. 15-26.
Jean-Charles Chebata, Claire Ge ́linas Chebatb, Dominique Vaillanta. Environmental background music and in-store selling. Journal of Business Research 54 (2001) 115– 123