PENGARUH
ATMOSTFIR TOKO TERHADAP MINAT BELI KONSUMEN
(
Ditunjukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kulyah Manajemen Ritel )
SUKARIS,SE.,M.S.M
Disusun oleh:
KARISMA ARGA KALOKA (12311001)
EKO TEGUH PURNOMO (12311034)
PROGRAM
STUDI MANAJEMEN FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS
MUHAMMADIYAH
GRESIK
2015
KATA PENGANTAR
Puji dan
Syukur kami panjatkan ke Hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat limpahan
Rahmat dan Karunia-nya sehingga kami dapat menyusun makalah ini dengan baik dan
tepat pada waktunya. Dalam makalah ini kami membahas mengenai “PENGARUH ATMOSTFIR TOKO TERHADAP
MINAT BELI KONSUMEN”
Kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan yang mendasar
pada makalah ini. Oleh karena itu kami meminta pembaca untuk memberikan saran
serta kritik yang dapat membangun kami. Kritik konstruktif dari pembaca sangat
kami harapkan untuk penyempurnaan makalah selanjutnya. Akhir kata semoga
makalah ini dapat memberikan manfaat bagi kita sekalian.
Gresik
, 03. 04 . 2015
Penulis
DAFTAR ISI
halaman
COVER
KATA PENGANTAR............................................................................................ ......... i
DAFTAR ISI..................................................................................................................... ii
BAB
I PENDAHULUAN…………………………………………………………. 1
1.1 Latar Belakang……………………………………………………………… 1
1.2 Permasalahan………………………………………………………………...
4
1.3 Pertanyaan
Penelitian……………………………………………………….. 7
1.4 Tujuan
Penelitian……………………………………………………………. 7
1.5 Signifikansi
Penelitian ……………………………………………………… 8
1.5.1
Signifikasi Akademis…………………………………………………
8
1.5.2
Signifikasi Praktis…………………………………………………….
8
BAB
II KERANGKA TEORI……………………………………………………. 9
2.1. pemasaran ( Marketing )……………………………………………………. 9
2.2. Ritel…………………………………………………………………………
11
2.2.1. Food Retailers……………………………………………………………….. 12
2.2.2. General Merchandise Retailers……………………………………….
13
2.2.3. Non Store Retailers…………………………………………………………..
14
2.3. Minat Beli
Konsumen……………………………………………………... 21
2.4. Hubungan Antar
Konsep…………………………………………………... 23
2.5. Model Analisis……………………………………………………………..
24
2.6. Hipotesis Teori……………………………………………………………..
24
BAB
III METODOLOGI……………………………………………………….. 25
3.1 Paradigma
penelitian………………………………………………………. 25
3.2. pendekatan
Penelitian……………………………………………………… 25
3.3 Jenis Penelitian……………………………………………………………...
26
3.4. Metode Pengumpulan
Data………………………………………………... 26
3.4.1. Data primer……………………………………………………………
27
3.4.2.data Sekunder………………………………………………………....
27
3.4.3. Populasi dan
Sampel…………………………………………………..27
3.4.3.1. Populasi…………………………………………………………..
27
3.4.3.2. Sampel……………………………………………………………
28
3.5 Teknik Penarikan
sampel……………………………………………………30
3.6 Uji Instrumen………………………………………………………………..
31
3.6.1. Uji Relibilitas………………………………………………………….
31
3.6.2. Uji Validitas……………………………………………………………
32
3.7. Metode Analisis
Data………………………………………………………. 33
3.7.1. Uji Normalitas ……………………………………………………...…
33
3.7.2. Analisis
Deskriptif…………………………………………………….. 33
3.7.3. Analisis
Univariat…………………………………………………….. 34
3.7.4. Analisis
Bivariat………………………………………………………. 34
3.8. metode Pengukuran…………………………………………………………
35
3.8.1. Oprasionalisasi
Konsep……………………………………………….. 35
3.8.1.1 Atmosfir Toko (
Store Atmosphere )……………………………… 35
3.8.1.2 Minat Beli
Konsumen…………………………………………….. 36
3.9. Hipotesis Penelitian………………………………………………………… 36
3.10. Keterbatasaan dan
Kelemahan Penelitian…………………………………. 37
3.10.1. keterbatasan
penelitian…………………………………………….. 37
3.10.2 Kelemahan
Penelitian………………………………………………. 37
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Arus globalisasi dewasa ini, tidak hanya
menyebabkan kemajuan teknologi dan komunikasi akan tetapi juga dengan laju
perekonomian yang tumbuh tinggi seiring dengan persaingan pasar yang semakin
ketat. Begitu banyak usaha bisnis yang bermunculan. Kegiatan pelaku bisnis
tentunya juga tidak pernah lepas dari kegiatan pemasaran (marketing). Di dalam
marketing, strategi pemasaran yang dilakukan oleh para pelaku bisnis tentunya
bukan hanya masalah mendistribusikan barang, akan tetapi bagaimanakah cara
distribusi tersebut dimana sampai pada rangkaian akhir pengecer (retailing)
produk atau barang tersebut diminati oleh konsumen dan kemudian dibeli.
American Marketing Association mendefinisikan
marketing sebagai kegiatan perencanaan, penerapan masalah konsepsi, harga,
kegiatan promosi dan penyampaian pesan dengan tujuan kepuasaan konsumen,
individu ataupun organisasi. Marketing mengalami perkembangan seiring dengan
perkembangan waktu dan kemajuan teknologi dan pasar, maka sekarang marketing
dapat dijabarkan sebagai suatu proses organisasi dan proses dalam
membuat,mengkomunikasikan, dan menyampaikan nilai-nilai kepada konsumen serta
untuk menjaga hubungan antara konsumen, organisasi dan para stakeholder
(Burnet, Moriarty, Wells, 2006). Kegiatan promosi selalu berkaitan dengan
kegiatan komunikasi pemasaran. Komunikasi pemasaran merupakan kegiatan
pemasaran dengan menggunakan teknik-teknik komunikasi yang bertujuan untuk memberikan
informasi pada khalayak agar tujuan perusahaan tercapai. Teknik komunikasi itu
antara lain iklan, public relation (PR), sales promotion, direct marketing,
customer relationship management (CRM), experiential marketing, dan berbagai
bentuk kegiatankomunikasi lainnya
(Burnet, Moriarty, Wells, 2006).
Di dalam konsep pemasaran tentunya selalu
ada proses distribusi dimana proses distribusi selalu berakhir dengan kegiatan
retailing, yaitu pengecer yang merupakan proses terakhir dalam suatu
distribusi. Di dalam proses retailing tidak hanya mampu mendistribusikan
barang, akan tetapi juga dapat menjual barangshingga membuat proses pembelian
pada konsumen. Di dalam kegiatan retailing yang dimana terdapat elemen
retailing mix yaitu ; produk, promosi, lokasi, harga, presentasi toko,
personalia dan customer service. Kegiatan retailing sebagai proses akhir dari
sebuah pendistribusian dapat dimaksimalkan sebagai cara untuk membangkitkan
minat beli konsumen, sehingga dalam retailing terdapat kolaborasi antara
promosi dan penjualan.
Dengan
kemunculan bisnis baru di pangsa pasar maka kemudian menjadi sebuah tantangan
dan juga ancaman bagi para pelaku bisnis yang sudah memulai bisnisnya terlebih
dulu. Keadaan tersebut apabila tidak didukung dengan pengetahuan mengenai
strategi dan trik dalam menghadapi pasar global maka pelaku bisnis tentunya
tidak dapat bertahan ditengah menjamurnya bisnis baru yang datang dengan konsep
modern serta baru.
Sesuai
dengan kegiatan retailing yaitu proses akhir dari sebuah pendistribusian dapat
dimaksimalkan sebagai cara untuk membangkitkan minat beli konsumen, maka
digunakanlah salah satu elemen dari retailing mix sendiri yaitu presentasi
toko, dimana presentasi toko diartikan sebagai Atmosfir Toko. Konsep Atmosfir
Toko menurut Levi dan Weitz (2007), sendiri merupakan penampilan citra toko
yang diciptakan di dalam toko untuk memanjakan dan membangun image toko di mata
konsumen dengan tujuan menarik perhatian, kenyamanan yang secara tidak langsung
diharapkan untuk menciptakan minat beli dari konsumen ketika berada di toko
tersebut.
Atmosfir
toko juga menjadi sebuah daya jual unik dari sebuah toko untuk merepresntasikan
toko (Levi dan Weitz, 2007). Atmosfir toko juga dijadikan sebagai hal unik yang
menjadi nilai tersendiri yang menjadi pertimbangan konsumen dalam berbelanja.
Atmosfir toko diperlihatkan oleh toko misalnya dalam bentuk bangunan, warna
lampu, desain penataan, seragam karyawan, alunan musik, fasilitas umum. Semua
yang ditampilkan dalam atmosfir toko harus sesuai dengan apa yang menjadi
jualan pertama dari toko tersebut, sehingga pembeli menilai atmosfir toko yang
ditampilkan sebagai nilai positif dan pembeda dengan toko lainnya.
Tanpa
disadari, kegiatan menata interior suatu toko terkadang bias mempengaruhi
psikologi pengunjung. Ada beberapa unsur ruang di sekitar yang sangat
memengaruhi sisi psikologis, seperti misalnya adalah warna, bentuk, garis, tekstur,
suara, bau, dan berbagai gambar dan simbol yang memiliki dampak terhadap
keadaan emosi pengunjung, juga karakteristik psikologi manusia. Pengembangan
interior took yang disesuaikan dengan karakteristik pengunjungnya harus
dipadukan dengan struktur bangunan yang ada. Yang termasuk ke dalam faktor
psikologi pada desain, di antaranya penglihatan, perasa, pendengaran, dan
penciuman (Lamb, Hair dan Mc Daniel, 2001).
Menurut
Levi dan Weitz (2007), bahwa faktor psikologi perasa memiliki peran yang sangat
penting. Faktor psikologi perasa ini sangat berpengaruh terhadap pengaplikasian
warna untuk interior. Warna merupakan salah satu elemen yang mampu memberi
pengaruh psikologi yang kuat dalam sebuah interior bangunan. Warna juga dapat
menciptakan nuansa tersendiri, seperti kesan hangat,dingin,dan netral. Misalnya
adalah warna merah, kuning dan oranye dapat dikatakan warna yang mampu
menaikkan tekanan darah. Warna tersebut akan membuat pengunjung merasa hangat
dan bersemangat. Adapun biru, hijau, dan ungu dapat meredam suhu ruangan
sehingga membuat pengunjung merasa dingin sekaligus rileks. Psikologi warna
juga bisa dipengaruhi latar belakang budaya.
Kemudian faktor psikologi penglihatan bisa
dilihat dari bentuk bangunan. Bentuk biasanya mewakili apa yang ingin disampaikan.
Bentuk umumnya dapat diciptakan oleh garis maupun warna. Dengan tipe klasik,
maka bentuk furniture dengan banyak ukiran aristokrat yang dapat diaplikasikan
pada langit-langit bangunan. Menurut Levi dan Weitz (2007), bentuk bangunan
bisa diklasifikasikan seperti bentuk simetris, asimetris, geometris, dan organik.
Garis secara psikologi dapat membangkitkan perasaan yang berbeda, sebagai
contoh garis horizontal, biasanya akan memberikan dampak ketenangan. Garis
vertikal dapat memberikan perasaan stabilitas. Untuk garis vertikal, terlihat
pada penerapan bangunan pilar. Selain garis, tekstur juga merupakan teknik
desain interior yang bias membangkitkan perasaan. Salah satu prinsip dasar
penggunaan tekstur adalah berkaitan dengan kesan yang didapat. Tekstur kasar
cenderung membuat objek terlihat berat, sedangkan tekstur halus akan membuatnya
terasa lebih ringan. Setelah tekstur, elemen yang harus diperhatikan dalam
membangun psikologi sebuah tatanan desain interior adalah suara. Suara adalah
elemen dimana dapat memberikan efek psikologis yang menenangkan dan mampu
melepaskan ketegangan. Pada elemen penciuman, Keberadaan aroma yang berbeda di ruangan
juga bisa memainkan peranan dalam membentuk sikap dan emosional pengunjung.
1.2
Perumusan Masalah
Yogyakarta
merupakan ibukota dari provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Satu-satunya daerah
istimewa yang ada di Indonesia kini. Dikatakan Istimewa karena merupakan daerah
yang masih dipimpin oleh Sultan sebagai Gubernur secara turun temurun mulai
dari Sulta Hamengkubuwono I sampai sekarang yaitu Sultan Hamengkubuwono IX.
Dengan keistimewaan ini tidak mengherankan apabila Yogyakarta mempunyai banyak
sebutan antara lain adalah kota Gudeg, kota pelajar ataupun kota Budaya.
Yogyakarta sebagai kota yang terus berkembang, mempunyai laju pertumbuhan
ekonomi dan perubahan teknologi serta arus informasi yang cukup cepat.
Pasar
yang semakin dinamis, mengharuskan para pelaku bisnis untuk secara terus-menerberimprovisasi
dan berinovasi dalam mempertahankan para pelanggannya. Bisnis yang dijalankan dewasa
ini tidak lagi berorientasi pada laba dan keuntungan semata. Pemasaran aktif
yang lebih berorientasi pada pelanggan lebih banyak digunakan oleh para pelaku
bisnis, meskipun hal ini mengharuskan para pelaku bisnis tersebut untuk mendefinisikan
“want and need” dari sudut pandang konsumen.
Sebagai
kota budaya pun maka Yogyakarta mempunyai daya tarik magnet tersendiri bagi
para wisatawan domestik ataupun wisatawan mancanegara, bahkan warga di
Yogyakarta pun masih sangat tertarik dengan ke-khas-an budaya Yogyakarta ini.
Suasana tradisional pun menjadi alasan kenapa banyak orang yang tertarik dengan
kota ini. Seperti yang kita ketahui, pariwisata tidak pernah terlepas dengan
kegiatan berbelanja. Pelaku bisnis di kota ini pun kemudian melihat peluang ini
sebagai daya tarik dalam bisnis mereka. Menjadikan unsur budaya sebagai faktor
dalam menjalankan bisnisnya. Kotler (1973) mengatakan identitas sebuah toko
dapat dikomunikasikan kepada konsumen melalui dekorasi toko atau secara lebih
luas dari atmosfernya. Meskipun sebuah atmosfer took tidak secara langsung
mengkomunikasikan kualitas produk dibandingkan denganiklan, atmosfer toko
merupakan komunikasi secara diam-diam yang dapat menunjukkan kelas sosial dari
produk-produk yang ada didalamnya. Sehingga menurut Kotler (1973), hal ini
dapat dijadikan sebagai alat untuk membujuk konsumen menggunakan jasa atau
membeli barang yang dijual di toko tersebut. Baker, et al (1994) juga menambahkan
bahwa dengan menunjukkan sebuah took yang memiliki atmosfer yang baik dan elegan,
maka toko tersebut dapat memberikan kesan sosial yang baik di mata konsumen,
dan jika kesan positif tersebut berlangsung lama maka toko tersebut akan menjadi
pilihan utama bagi konsumen untuk menggunakan jasa atau membeli barang di toko
tersebut.
Berikut
adalah bisnis yang menggunakan unsur budaya dalam melakukan bisnisnya, yaitu
Mirota Batik Yogyakarta yang terletak persis di jantung kota Yogya, yaitu kawasan
Malioboro. Dengan letak berhadapan dengan pasar Beringharjo, toko ini kemudian
bersaing untuk menarik para konsumennya. Mirota Batik merupakan sebuah toko
yang mempunyai produk jual utamanya adalah batik, dalam bentuk busana, kain, kerajinan,
hiasan maupun berbagai bentuk aksesoris. Mirota Batik berusaha mengemas dan
menjadikan konsep tradisional budaya Yogyakarta (atmosfir toko) dalam konsep
bisnisnya. Dengan suasana toko yang kental dengan budaya Kasultanan Yogyakarta,
dimana para karyawannya pun berbusana layaknya abdi dalem keraton dan
pengunjung pun seolah dibawa masuk dalam ruangan keraton yang menampilkan
berbagai macam barang dengan unsur batik, ethnic dan Jawa tradisional. Toko ini
mempunyai 3 lantai, dimana lantai 1 untuk lantai penjualan busana dan makanan
tradisional, lantai 2 untuk produk lainnya seperti kerajinan, hiasan dan
aksesoris, dan lantai 3 untuk restoran serta panggung hiburan pertunjukkan
tradisional. Semuanya dikemas secara tradisional Keraton Yogyakarta.
Berdasarkan uraian tersebut, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian
mengenai pelaksanaan atmosfir toko yang dilakukan oleh Mirota batik sebagai
bentuk komunikasi pemasarannya.
Mirota
Batik berada di jantung pusat perbelanjaan, di Malioboro. Terletak persis di
depan pasar tradisional terbesar di Yogya yaitu Beringharjo. Berada dalam
lingkungan kerajinan batik dan sangat dekat dengan Keraton Yogyakarta. Peneliti
meneliti Mirota Batik melihat dari konsep modern-tradisional yang ditampilkan.
Berbentuk gerai toko modern dengan konsep tradisional dimanaberbeda dengan
Margaria yang berkonsep butik dengan tampilan standar layaknya butik pada
umumnya dengan tata cahaya lampu yang terang dan penggunaan manekin dengan
tambahan kaca di setiap sudutnya serta terdapat etalase untuk memajang koleksi
terbaru. Pasar Beringharjo menggunakan konsep tradisional dimana terdapat
proses jual beli konsumen dengan penawaran terlebih dahulu. Barang yang dijual
beragam tanpa spesifikasi yang jelas dimana konsumen harus mencari barang yang
dicari sendiri. Tidak ada keunikan yang ditampilkan selain keunikan layaknya
pasar tradisional. Mirota Batik mempunyai konsep atmosfir toko yang jelas dan
unik, dimana seragam karyawannya terkonsep dengan bentuk seragam abdi dalem
keraton yaitu lurik dan kebaya tradisional, tanpa etalase dan pintu masuk yang
tertutup karena barang jualan dari pedagang kaki lima.
Seiring
dengan perkembangan waktu, Mirota Batik membuat inovasi baru dimana membuat
lantai 3 sebagai bentuk restoran dan pagelaran. Kehadiran lantai 3 sebagai
lantai tambahan di Mirota Batik ini tak ubahnya tentu memberikan perubahan pula
pada Mirota Batik. Mirota Batik dinilai menampilkan sisi yang kurang baik
dimana menjadi toko yang semrawut karena banyaknya aktifitas pembeli yang
bermacam-macam. Akan tetapi yang menarik adalah konsep modern yang dikemas
secara tradisional modern inilah yang menjadi perbedaan Mirota Batik dengan
toko, gerai ataupun butik lain di Yogyakarta.
1.3
Pertanyaan Penelitian
Peneliti merumuskan pertanyaan pada penelitian
ini adalah :
1.
Apakah atmosfir toko mempengaruhi minat beli konsumen pada Mirota Batik Yogyakarta?
2.
Bagaimana tanggapan konsumen terhadap atmosfir toko Mirota Batik Yogyakarta?
1.4
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan:
1. Untuk menjelaskan pengaruh atmosfir
toko terhadap minat beli konsumen pada Mirota Batik Yogyakarta
2. Untuk mengetahui tanggapan konsumen
terhadap atmosfir took Mirota Batik Yogyakarta.
1.5 Signifikansi Penelitian
1.5.1 Signifikansi
Akademis
Penelitian ini diharapkan dapat memberi
masukan terkait studi mengenai kegiatan marketing lebih khusus lagi mengenai
kegiatan retail marketing. Diharapkan hasil penelitian ini dapat dijadikan
masukan dan referensi bagi penelitian-penelitian berikutnya.
1.5.2 Signifikansi
Praktis
Penelitian ini diharapkan mampu menjadi
masukan dan menjadi pertimbangan bagi marketing terkait dengan industri ritel
yang menggunakan konsep atmosfir toko sebagai salah satu daya tarik dan strategi
pemasaran yang digunakan dan menjadikannya bahan evaluasi demi keberhasilan
aktivitas retail marketing.
BAB
II
KERANGKA
TEORI
2.1 Pemasaran (Marketing)
Kottler
mendefenisikan “Marketing is a societal process by which individuals and groups
obtain what they need and want through creating, offering, and freely exchanging
products and services of value with each other” yaitu proses sosial dimana
individu dan kelompok mendapatkan keinginan dan kebutuhkan dengan menciptakan,
menawarkan dan melakukan pertukaran produk dan jasa yang bernilai antara satu
sama lain secara bebas. Kemudian menurut American Marketing Association,
marketing adalah suatu kegiatan perencanaan, penerapan masalah konsepsi, harga,
kegiatan promosi dan penyampaian pesan dengan tujuan kepuasaan konsumen,
individu ataupun organisasi. Marketing mengalami perkembangan seiring dengan perkembangan
waktu dan kemajuan teknologi dan pasar, maka sekarang marketing dapat
dijabarkan sebagai suatu proses organisasi dan proses dalam membuat,
mengkomunikasikan, dan menyampaikan nilai-nilai kepada konsumen serta untuk
menjaga hubungan antara konsumen, organisasi dan para stakeholder (Burnet,
Moriarty, Wells, 2006).
Seiring
dengan pertumbuhan daya saing pasar dan minat konsumen maka munculah konsep
pemasaran terintegrasi yang dikenal dengan Intergrated Marketing Communication.
Belch and Belch mendefinisikan “A concept of marketing communication planning
that recognizes the added value of comprehensive plan that evaluates the strategic
roles of a variety of communications disciplines – for example, general
advertising, direct response, sales promotion and public relations – and combines
these disciplines to provide clarity, consistency and maximum communication
impact”. Sehingga dapat dipahami bahwa komunikasi pemasaran terpadu
terintegrasi mempunyai peranan penting dalam membentuk perencanaan, penerapan
dan evaluasi dari suatu strategi pemasaran yang ditinjau dari segi komunikasinya.
Kemudian Kotler memapaparkan bahwa setidaknya terdapat 5 hal yang saling
terkait dalam konsep Intergrated Marketing Communication, antara lain :
a. Advertising
(Periklanan)
Bentuk
promosi yang digunakan oleh kebanyakan perusahaan dalam mempromosikan produknya.
b.
Sales Promotion
Promosi
jangka pendek yang dilakukan untuk mendorong pembelian sebuah produk atau jasa.
c.
Personal Selling
komunikasi
dua arah yang dilakukan bersifat individual sehingga dimanapenjual dan konsumen
langsung mendapatkan umpan balik.
d.
Public Relation
Pencitraan
dan image yang akan dibentuk oleh perusahaan diperlihatkan melalui strategi PR.
e.
Direct Marketing
Kegiatan
pemasaran dimana interaksi dan komunikasi yang digunakan berhubungan dengan
pihak lain dan mendapat respons bersifat langsung.
Dalam
pemasaran tentunya selalu ada proses distribusi, yang tidak pernah lepas dari
kegiatan retailing. Dalam proses retailing itu sendiri nanti tentunya masih
terdapat kegiatan promosi yang dilakukan melalui kegiatan retailing.
2.2 Ritel
Salah
satu perantara dalam saluran pemasaran adalah pengecer. Eceran (retailing)
mempunyai peranan penting dalam perekonomian dengan menyediakan banyak jenis
dan keragaman barang maupun pelayanan. Berman dan Evan menjelaskan ritel
merupakan “Retailing consists of those business activities involved in the sale
of goods and services to consumers for their personal, family, or household
use. It’s the final stage in the distribution process”. Dapat kita simpulkan
bahwa perdagangan eceran (ritel) adalah kegiatan menjual barang dan jasa kepada
konsumen akhir sehingga ritel merupakan proses akhir dari sebuah distribusi
pemasaran.
Klasifikasi
Ritel menurut Berman dan Evan (2007:71) adalah sebagai berikut, berdasarkan
pada:
1.
Harga
Berdasarkan
harga ritel dapat diklasifikan menjadi toko diskon, factory outlet dan toko
pengecer obral, yang mampu menawarkan harga barang yang lebih murah disbanding
toko lain.
2. Kepemilikan
Ritel
dapat diklasifikasikan secara luas berdasarkan bentuk kepemilikan independent,
bagian dari toko waralaba.
a. Pengecer independent adalah pengecer yang
dimiliki oleh seseorang atau kemitraan dan pengoperasiannya bukanlah bagian
dari lembaga eceran yang lebih besar. Pengecer ini tidak bernaung pada pengecer
yang lebih besar.
b. Toko berantai, (chain store) adalah
toko yang kepemilikannya dan pengoperasinya dilakukan satu kelompok oleh satu
organisasi.
c. Waralaba (franchise) merupakan
pengecer yang kepemilikan dan pengoperasiannya dilakukan oleh individu akan
tetapi memperoleh lisensi dari organisasi pendukung yang lebih besar.
3. Tingkat pelayanan
Berdasarkan
tingkat pelayanan maka ritel dapat diklasifikasikan menjadi ritel yang
merupakan bagian dari suatu rangkaian dari pelayanan penuh (full service)
sampai pelayanan sendiri (self service).
4. Keragaman produk
Ritel
juga dapat diklasifikasikan berdasarkan ragam dan varian penyediaan lini
produk. Toko khusus (speciality store) sebagai contoh misalnya adalah merupakan
toko yang fokus pada ragam produk yang ditawarkan, walaupun dalam lini produk
yang tunggal dan sempit akan tetapi menyediakan varian dan jenis produk yang
lebih banyak. Kemudian menurut Levy dan Weitz (2007:39) ritel dibagi menjadi 3 bagian
utama yaitu food retailer, general merchandise retailer, dan non store retailer.
2.2.1 Food Retailers
Merupakan ritel yang bergerak dalam
bidang logistic bahan baku konsumsi sehari-hari dan kebutuhan pangan. Contoh
dari food retailers antara lain:
1. Convenience stores
Convenience
stores atau toko kebutuhan sehari-hari adalah ritel yang menyediakan ragam
barang kebutuhan yang terbatas dengan lokasi yang terjangkau. Biasanya
mempunyai lokasi di dekat pemukiman padat penduduk, perumahan, ataupun di
kompleks kawasan bisnis terpadu. Contoh : minimarket indomart, alfamart, dan
Cirkle K.
2.
Supermarkets
Supermarkets
adalah food retailers yang pengunjungnya mencari kebutuhan yang diinginkan
seperti perlengkapan sehari-hari, daging, perlengkapan yang bukan termasuk
makanan seperti perawatan kesehatan, dengan mengambil sendiri barang yang
diinginkan kemudian melakukan transaksi pembayaran di kasir. Contoh: Hero,
Superindo, Foodmart.
3.
Hypermarkets
Sebenarnya
hal mendasar yang memberdakan supermarket dengan hypermarkets adalah luas lahan
usaha dari keduanya. Hypermarkets merupakan food retail yang mempunyai luas
100.000-300.000 m2. Dibandingkan dengan Supermarkets, Hypermarkets merupakan
food retail dan juga termasuk salah satu ritel yang cepat berkembang. Contoh : Hypermart,
Giant, Carrefour, Lottemart.
2.2.2 General merchandise retailers
Jika food retailers merupakan ritel yang
bergerak dalam bidang kebutuhan makanan dan makanan, maka general merchandise
retailers merupakan ritel yang bergerak di bidang penyediaan barang-barang
dalam kategori yang lebih luas.
Kategori
dan jenis dari General merchandise retailers bisa kita lihat antara lain adalah:
·
Speciality stores merupakan toko khusus
yang pada dasarnya juga merupakan toko eceran yang mengkhususkan penyediaan
barang fokus usahanya pada suatu jenis barang dagangan tertentu. Contoh:
Gramedia, Aquarius, Strawberry, Naughty, Sportstation.
·
Category specialist adalah jenis retail
yang merupakan toko berukuran dengan menawarkan barang-barang yang lengkap
dengan harga yang rendah.
·
Drugstores adalah toko obat dan
merupakan ritel yang bergerak menawarkan produk dan jasa farmasi sebagai fokus
kesediaan barang yang dijual. Biasanya drug store juga memberikan resep dan
layanan konsultasi kesehatan walaupun dalam skala kecil. Contoh : Kimia Farma,
Guardian, Century, K24.
·
Extreme Value Retailers merupakan jenis
ritel yang merupakan toko dalam lahan yang berukuran tidak besar dan merupakan
jenis toko diskon dengan lini produk yang menawarkan barang walaupun dalam
jenis dan varian yang terbatas akan tetapi menawarkan barangnya dengan harga
yang sangat murah dibandingkan dengan ritel atau toko lainnya. Biasanya ritel
semacam ini terletak di kawasan pecinan. Contoh : Toko Golo Diskon di Pasar
Baroe.
·
Department store. menangani beberapa
bagian penjualan produk di bawah satu atap, sebuah department store menyediakan
variasi produk belanja dan produk-produk khusus secara luas termasuk pakaian,
kosmetik, peralatan rumah tangga, alat-alat elektronik dan kadang-kadang mebel.
Pembelian biasanya dilakukan masing-masing bagian diperlakukan sebagai pusat
pembelian terpisah agar ekonomis dalam promosi, pembelian, pelayanan dan
pengawasan. Contoh: Matahari, Yogya, Ramayana.
2.2.3
Non
Store Retailers
Kategori berikutnya merupakan non-store
retailers yang bergerak dalam bidang usaha penyediaan jenis barang yang lebih
fokus pada satu jenis produk barang dengan varian dan jenis yang luas tanpa
memerlukan toko fisik di setiap transaksi penjualannya.
1. Direct
Selling
Direct
selling adalah non-store retail yang melakukan promosi penjualan langsung
melalui sales people dengan cara mengawarkan produk yang dijual pada target secara
langsung dengan penjelasan lebih lanjut mengenai produk yang ditawarkan pada
konsumen. Sistem penjualan ini terkadang juga disebut sebagai system jemput
bola ( langsung mendekati konsumen tanpa penwaran melalui media lain terlebih
dahulu ).
2. Catalog
and Direct Mail Retailers
Catalog
retailing merupakan non-store retail dengan penjualan menggunakan catalog
sebagai media promosi dan pendekatan pada konsumennya. Contoh: Sophie Martin,
Oriflame.
3. Television
Home Shopping merupakan non-store retail dimana menggunakan media promosi
melalui suatu program TV dan kemudian melakukan demontrasi produk kepada
konsumen. Biasanya television home shopping ini mengiming-imingi konsumennya
dengan penawaran diskon melalui transaksi lebih dari satu produk dan potongan harga
apabila melakukan pembelian dalam tempo waktu yang tidak terlalu lama setelah
penayangan program Television Home Shopping. Contoh: DRTV, Inovation store,
Lejel Homeshopping.
4. Services
retailing merupakan jenis non-store retail dimana fokus penawaran bidang
usahanya menitikberatkan pada penyediakan pelayanan jasa dibandingkan dengan
produk barang yang ditawarkan. Terkadang bahkan service retailing malahan hanya
menawarkan dan menjual jasa layanannya tanpa penjualan produk dalam bentuk
barang apapun.
5. Electronic
Retailers merupakan jenis non-store retail yang menggunakan pendekatan media
internet dalam usaha promosi penawaran barang dan jasanya kepada konsumen.
Electronic Retailers ini sendiri terkadang lebih dikenal sebagai online
tailing, e-tailling ataupun internet tailing. Contoh: E-bay, Amazon.
Lamb, Hair dan McDaniel memaparkan
bauran (retailing mix):
1. Product (keluasaan dan kedalaman
keragaman produk)
2. Promotion (periklanan, publisitas dan
hubungan masyarakat)
3. Place (tempat)
4. Price (harga)
5. Presentasi (tata letak dan suasana
dalam gerai), termasuk di dalamnya adalah
store
atmosphere
6. Personalia (pelayanan pelanggan dan
penjualan pribadi)
7. Customer service (pelayanan terhadap
pelanggan) Atmosfir toko merupakan salah satu elemen yang ada di retailing mix.
•
Atmosfir Toko (Store Atmosphere)
Levi dan Weitz memaparkan store atmosphere
adalah “atmospherics refers to the design of an environment via visual
communications, lighting, colors, music and scent to stimulate customers
perceptual and emotional responses and ultimately to affect their purchase
behavior”. Dari pengertian di atas dapat kita lihat bahwa store atmosphere merupakan
rancangan dari desain lingkungan melalui komunikasi visual, pencahayaan, warna,
musik, dan penciuman yang dimaksudkan untuk merangsang persepsi dan emosi
hingga mempengaruhi perilaku belanja konsumen. Sedangkan Lamb, Hair dan
McDaniel mendefinikasikan store atmosphere adalah kesan keseluruhan yang ingin disampaikan
oleh tata letak fisik toko, dekorasi dan lingkungan sekitarnya. Definisi
tersebut hampir sama dengan definisi yang disampaikan menurut Berman
(2001;602), suasana lingkungan toko basic retailer berdasarkan karakteristik
fisik yang biasanya digunakan untuk membangun kesan dan menarik pelanggan. Dari
beberapa uraian definisi di atas dapat kita simpulkan bahwa store atmosphere
merupakan segala kesan keseluruhan yang ingin disampaikan oleh sebuah toko
melalui pola tata letak fisik, dekorasi dan lingkungan terkait toko tersebut
untuk menarik ketertarikan pelanggan terhadap toko dan mempengaruhi perilaku
berbelanja konsumen pada toko tersebut.
Lamb,
Hair, dan Mc. Daniel (2001), menjelaskan terdapat tujuan lain daristore
atmosphere selain menarik perhatian konsumen, yaitu antara lain adalah:
1. Membangun
citra toko di mata konsumen.
2. Pola
kenyamanan dan kemudahan dalam berbelanja dibentuk melalui Atmosfir took (store
atmosphere), dimana tujuan akhirnya adalah mempengaruhi pola perilaku belanja
konsumen.
Atmosfir toko
(store atmosphere) merupakan cara yang dilakukan oleh sebuah toko untuk
mempengaruhi konsumen ketika sedang berada di dalam took tersebut. Hal ini
sering tidak disadari oleh konsumen. Menurut Lamb, Hair dan Daniel berikut
adalah faktor yang mempengaruhi store atmosphere:
a. Jenis kenyamanan dan kepadatan
Sebagai contoh antara
lain adalah pelayanan dari karyawan yang berorientasi pada konsumen melalui
kerapihan pakaian, sikap yang ramah dan informasi yang jelas pada konsumen.
Luas bangunan toko dan daya tamping pengunjung seimbang dan tidak menimbulkan
kepadatan juga merupakan salah satu contoh dari faktor kenyamanan konsumen.
b. Jenis barang dagangan dan pola
penataannya
Pola penataan barang
yang rapi dan menarik serta penempatan barang dagangan yang mudah ditemukan
akan membuat kemudahan bagi konsumen dalam memilih barang dagangan yang akan
dibeli. Bentuk pola penataan dan penempatan suatu barang dagangan dalam toko
akan sangat menentukan suasana berbelanja di dalam toko.
c. Jenis peralatan furniture
permanen
jaman Pemilihan bahan
dasar dari peralatan serta furniture permanen dari suatu took menunjukan
karakter dan suasana toko. Misalnya pemilihan stainless steel memberikan kesan
minimalis dan trendy, sehingga konsumen merasa berbelanja di dalam toko yang
mengikuti perkembangan.
d. Pemilihan latar bunyi suara
Latar bunyi suara ini
didefinisikan sebagai pemilihan backsound irama melodi atau lagu yang membentuk
karakter dari sebuah toko dan kenyaman dari konsumen. Pemilihan lagu yang soft
dan easy listening biasanya akan membuat konsumen betah untuk melakukan
aktivitas di dalam toko walaupun dalam jangka waktu yang cukup lama.
Pada
dasarnya atmosfir toko (store atmosphere) adalah langkah yang ditempuh oleh
toko untuk membangun suatu kondisi emosional antara took dengan konsumen yang
terkadang memang sebenarnya tidak terlalu disadari oleh konsumen itu sendiri.
Beberapa atribut yang digunakan dalam store atmosphere antara lain dengan
membuat kedekatan emosioal melalui indera manusia, yaitu penglihatan (sight),
pendengaran (sounds), penciuman (smell), peraba (touch).
·
Sight Appeal
Sight
Appeal merupakan atribut yang berkaitang dengan indra penglihatan manusia yang
bertujuan untuk memberi informasi yang lebih banyak dan detail dibandingkan
dengan indra lainnya Sight appeal merangsang konsumen untuk menstimuli kondisi
visual yang dilihat dengan apa yang dia pikirkan hingga menimbulkan sebuah
kondisi emosional, tertarik atau tidak, suka atau tidak. Terdapat tiga stimuli
visual yang bisa dioptimalkan oleh toko dalam sight appeals ini antara lain
ukuran, bentuk,dan warna.
·
Sound Appeal
Sound
Appeal merupakan pendekatan melalui indra pendengaran manusia. Suara dapat
membangun kondisi emosi yang ingin disampaikan oleh took kepada konsumennya,
sebagai contoh adalah memperdengarkan music “Jingle Bells” sebagai pendekatan
kepada konsumen bahwa toko tersebut berusaha mendekatkan diri pada kaum Nasrani
yang merayakan Natal. Terlepas dari pilihan musik sebuah toko ketika
occasional, musik harus sesuai dengan citra dan image toko. Sounds appeal tidak
hanya mengenai musik, akan tetapi terkadang mengenai informasi suatu promo yang
sedang berlangsung pada toko tersebut, car call, lost and found, dan pemberian pengumuman
mengenai suatu informasi.
·
Scent Appeal
Scent Appeal merupakan
pendekatan melalui indra penciuman. Sebenarnya tujuan utama dari pendekatan
indra penciuman ini adalah menghindari bau yang tidak sedap yang menimbulkan
ketidaknyamanan. Beberapa aroma yang sering digunakan dalam scent appeal antara
lain adalah aromatherapy sebagai pendekatan dalam menciptakan kesan rileksasi,
aroma antiseptic mencerminkan kebersihan.
Atmosfir
Toko (Store atmosphere) sendiri terdiri dari empat elemen dimana masing-masing
elemen kemudian mempunyai sub elemen (Berman and Evan, 2001) antara lain,
yaitu:
1. Exterior (bagian depan toko)
Merupakan bagian
toko paling depan. Exterior merupakan bagian yang biasanya dilihat pertama kali
oleh konsumen karena itulah maka exterior ini harus dapat menampilkan image
yang ingin disampaikan oleh toko tersebut dan dibuat semenarik mungkin sehingga
konsumen dapat melihat keunikan dan khas dari toko tersebut dibandingkan dengan
toko lain karena eksterior sendiri berfungsi sebagai identifikasi atau tanda
pengenalan.
2. General Interior
General interior
dari suatu toko harus dirancang untuk memperoleh kesan yang menyenangkan bagi
konsumen. Kesan general interior ini dapat diciptakan melalui backsound music
yang diputar di dalam toko, warna dinding, pencahayaan, pilihan parfum pewangi
ruangan.
3. Store Layout (tata letak)
Merupakan
rencana untuk menentukan lokasi tertentu dan pengaturan dari peralatan barang
dagangan di dalam toko serta fasilitas toko. Layout toko akan mengundang masuk
atau menyebabkan pelanggan menjauhi toko tersebut ketika konsumen melihat
bagian dalam toko melalui jendela etalase atau pintu masuk. Layout toko yang
baik adalah yang mampu menarik konsumen untuk masuk kedalam toko kemudian
nyaman dalam memilih dan melihat barang-barang sehingga diharapkan dapat
menciptakan proses pembelian.
4. Interior (Point-Of-Purchase)
Displays
Setiap jenis POP
display menyediakan informasi kepada pelanggan untuk mempengaruhi suasana
lingkungan toko. Tujuan utamanya adalah untuk meningkatkan penjualan dan laba
toko. Pop display ini antara lain adalah poster, tanda penunjuk lokasi, display
barang pada hari khusus seperti lebaran dan tahun baru.
2.3
Minat Beli Konsumen
Dalam rangka
menarik perhatian atau menarik minat beli konsumen terlebih dahulu produsen
harus memahami bagaimana konsumen perilaku konsumen dalam mengambil keputusan.
Menurut Philip Kotler (2003:568), “Minat beli adalah tahapan yang dilakukan
oleh konsumen sebelum merencanakan untuk membeli suatu produk”. Sedangkan
Menurut E. Jerome Mc. Carthy (2002:298), “Minat beli merupakan dorongan yang timbul
dalam diri seseorang untuk membeli barang atau jasa dalam rangka pemenuhan kebutuhannya”.
Sedangkan menurut
Mowen (1995), menyatakan “minat beli merupakan kecenderungan konsumen untuk
membeli suatu merek atau mengambil tindakan yang berhubungan dengan pembelian
yang diukur dengan tingkat kemungkinan konsumen melakukan pembelian.” Definisi
yang hampir sama dikemukakan oleh Peter dan Olson (1999) “minat beli sebagai
kecenderungan konsumen untuk membeli suatu merek atau mengambil tindakan yang
berhubungan dengan pembelian yang diukur dengan tingkat kemungkinan konsumen
melakukan pembelian”.
Pendapat lain
Sutisna dan Pawitra (2001), mengatakan bahwa minat beli merupakan sesuatu yang
berhubungan dengan rencana konsumen untuk membeli produk tertentu serta berapa
banyak unit produk yang dibutuhkan pada periode tertentu. Lebih lanjut
dijelaskan bahwa minat beli merupakan instruksi diri konsumen untuk melakukan
pembelian atas suatu produk, melakukan perencanaan, mengambil tindakan-tindakan
yang relevan seperti mengusulkan (pemrakasa) merekomendasikan (influencer), memilih,
dan akhirnya mengambil keputusan untuk melakukan pembelian.
Dari penjelasan
mengenai minat beli di atas, maka dapat disimpulakan bahwa minat beli merupakan
suatu suatu dorongan dari proses perencanaan pembelian suatu produk yang akan
dilakukan oleh konsumen dengan mempertimbangakan beberapa hal, diantaranya
adalah banyak unit produk yang dibutuhkan dalam periode waktu tertentu, merek,
dan sikap konsumen dalam mengkonsumsi produk tersebut.
Untuk
menjelaskan tahapan minat beli maka demikian paparan tahapannya melalui Konsep
AIDA. Konsep model AIDA merupakan rangkaian atau tahap pelanggan bisnis dalam
menentukan minat beli atau menentukan dorongan konsumen dalam melakukan
pembelian terhadap produk atau jasa yang ditawarkan. Tahap-tahap model AIDA di
antaranya :
1.
Attention
Merupakan tahap awal
dalam menilai suatu produk atau jasanya yang dibutuhkan calon pelanggan, dimana
dlam tahap ini calon pelanggan nilai mempelajari produk/jasa yang ditawarkan.
2.
Interest
Minat calon pelanggan
timbul setelah mendapatkan informasi yang lebih terperinci mengamati produk/jasa.
3.
Desire
Calon pelanggan
memikirkan serta berdiskusi yang menyebabkan keinginan dan hasrat untuk membeli
produk / jasa yang ditawarkan. Dalam tahapan ini calon pelanggan harus maju
serta tingkat dari sekedar tertarik akan produk. Tahap ini ditandai dengan
hasrat yang kuat dari calon pelanggan untuk membeli dan mencoba produk.
4.
Action
Melakukan pengambilan
keputusan yang pasif atas penawaran. Pada tahap ini calon pelanggan yang telah
mengunjungi perusahaan akan mempunyai tingkat kemantapan akan membeli atau
menggunakan suatu produk yang ditawarkan.
Pada penelitian
ini peneliti hanya ingin melihat minat beli konsumen sehingga pada tahapan AIDA
hanya akan dijabarkan menjadi tahap Attention dan Interest pada
Operasionalisasi Konsep. Attention akan dipakai sebagai dimensi untuk mengukur
perhatian dari konsumen terhadap ketertarikan pada produk yang ditawarkan. Dan
Interest akan dipakai sebagai dimensi untuk mengukur keinginan dan minat
membeli konsumen terhadap suatu produk.
2.4
Hubungan Antar Konsep
Hubungan antar
konsep ini menjelaskan keterkaitan konsep (hubungan) antara atmosfir toko dan
minat beli. Rusdian (1999), menyatakan bahwa strategi atmosfir toko adalah
suatu strategi dengan melibatkan berbagai atribut store untuk menarik keputusan
pembelian konsumen. Pendapat ini didukung oleh pendapat yang mengatakan bahwa
atmosfir toko dapat mempengaruhi keadaan emosinal positif pembeli dan keadaan
tersebutlah yang dapat menyebabkan pembelian terjadi. Keadaan emosional yang
positif akan membuat dua perasaan yang dominan yaitu perasaan senang dan
membangkitkan keinginan (Sutisna dan Pawitra: 2001). Schlosser (1998)
mengatakan bahwa seorang konsumen sering menilai sebuah toko pada kesan
pertamanya dilihat dari atmosfer toko tersebut, baik itu berupa tata letak,
pencahayaan, musik, warna toko, dan tata ruangnya. Dan hal ini sering juga
menjadi alasan mengapa seorang konsumen memiliki minat atau tidak untuk
berbelanja di toko tersebut. Pendapat ini didukung oleh Cooper (1981) yang mengatakan
bahwa atmosfer toko yang memiliki keindahan akan membentuk citra positif di
benak konsumen terhadap toko tersebut, dan jika hal tersebut berlangsung lama
maka kecenderungan konsumen untuk memilih toko tersebut sangat tinggi.
Greenberg, et al (1988) dan Rich & Portis (1964) juga menambahkan bahwa
sebuah toko yang memiliki atmosfer, seperti toko yang memiliki “kepribadian”
dan hal ini yang dapat menjadikan atmosfer tersebut sebagai alat komunikasi sebuah toko kepada
konsumen. Sebuah toko yang memiliki “kepribadian” yang baik (dalam hal ini
atmosfir) akan memiliki tingkat kemungkinan dipilih oleh konsumen lebih tinggi
dibandingkan dengan yang tidak baik. Hal ini sesuai dengan teori perilaku
konsumen yang menjelaskan tentang keterkaitan antara aspek afektif dan perilaku
dalam manusia (Kotler 2005). Dalam teori tersebut dikatakan bahwa perilaku
muncul akibat dari afektif (perasaan) yang dimiliki oleh konsumen. Mengacu pada
teori tersebut maka jika konsumen memiliki afektif yang baik terhadap produk
atau jasa, terdapat kemungkinan konsumen melakukan pembelian atas produk
tersebut.
Berdasarkan
penjelasan tersebut, bisa dipahami bahwa terdapat hubungan antara dengan
atmosfir toko dan minat beli, karena atmosfir toko dapat mempengaruhi minat
beli konsumen. Untuk itu, dipahami bahwa antara konsep atmosfir toko dan minat
beli konsumen saling berkorelasi karena diantara setiap variabel ini saling
mempengaruhi.
2.5
Model Analisis
Berdasarkan
definisi konseptual di atas, dapat dirancang model analisis untuk menghubungkan
kedua variabel penelitian. Atmosfir toko merupakan variabel independen dari
model penelitian ini, sedangkan minat beli konsumen adalah variabel dependen
dari penelitian ini. Objek penelitian ini Toko Mirota Batik Yogyakarta. Model
analisis yang dapat digunakan dalam penelitian adalah sebagai berikut :
2.6
Hipotesis Teori
Secara
logika dengan penarikan kesimpulan secara silogisme, maka hipotesis teori yang
ada adalah:
• Adanya pengaruh
antara variabel Atmosfir Toko dengan minat beli konsumen
BAB
3
METODOLOGI
3.1
Paradigma Penelitian
Penelitian
ini menggunakan paradigma positivis, karena peneliti ingin menemukan atau
memperoleh konfirmasi tentang hubungan sebab akibat yang biasa dipergunakan
untuk memprediksi pola-pola umum suatu gejala sosial. Paradigma positivis
adalah metode yang terorganisir untuk mengkombinasikan logika deduktif dan
pengamatan empiris, guna secara probabilistik menemukan suatu hukum
sebab-akibat agar orang-orang dapat memprediksi pola-pola umum gejala sosial
tertentu. (Neuman, 2003, p.71). Dalam paradigma positivis, peneliti memandang
bahwa realitas sosial ada dan berada “di luar sana” yang siap untuk diungkap,
serta ada hukum-hukum dan mekanisme alamiah dan bersifat universal yang
mengaturnya. (Neuman, 2003).
Paradigma
positivis melihat objek penelitian memiliki keberaturan yang naturalistik,
empiris dan behavioristik, di mana semua objek penelitian harus dapat direduksi
menjadi fakta yang dapat diamati, tidak terlalu mementingkan fakta sebagai
makna namun mementingkan fenomena yang tampak, serta serba bebas nilai atau
objektif dengan menentang habis-habis sikap-sikap subjektif (Bungin, 2006).
3.2
Pendekatan Penelitian
Penelitian
ini menggunakan pendekatan kuantitatif. Tujuan digunakan pendekatan kuantitatif
dikarenakan peneliti berusaha menemukan kebenaran yang berlaku universal atau
umum untuk suatu topik yang diteliti serta menguji teori dan hipotesis. (Neuman,
2003).
Penelitian
kuantitatif merupakan penelitian yang berawal dari pengujian hipotesis, pembuatan
pengukuran secara sistematis sebelum untuk mengumpulkan data, data yang telah
diperoleh dibuat untuk pengukuran, teori yang digunakan umumnya sebab akibat
dan deduktif, analisis menggunakan statistik, table diagram, kemudian pemaparan
bagaimana hubungan teori dengan hipotesis.
3.3
Jenis Penelitian
Jenis
penelitian yang digunakan adalah penelitian eksplanasi. Tujuan dari penelitian
eksplanasi (Neuman, 2003, p.74), yaitu:
1.
Menjelaskan secara akurat sebuah teori
2.
Mencari penjelasan yang lebih baik mengenai sebuah topic
3.
Mengembangkan pengetahuan yang lebih jauh mengenai sebuah proses
4. Menghubungkan topik-topik yang berbeda
namun memiliki kesamaan dalam pernyataan
5.
Membangun dan memodifikasi sebuah teori sehingga menjadi lengkap
6.
Mempertahankan sebuah teori dalam topik baru
7.
Menghasilkan bukti untuk mendukung sebuah penjelasan atau prediksi
3.4
Metode Pengumpulan Data
Penelitian
ini dilakukan dengan menggunakan teknik penelitian survey. Dalam penelitian
survey, seorang peneliti mengajukan pertanyaan, yang telah tersusun dalam
kuesioner. Penelitian ini akan menggunakan instrument penelitian berupa
kuesioner dengan pertanyaan terstruktur, untuk menjaga agar temuan dan pengetahuan
yang didapat dari responden tetap pada jalur yang ingin diamati. Teknik
pengumpulan data dilakukan melalui survey dengan mengajukan kuesioner berisi
pertanyaan-pertanyaan tertutup kepada responden secara terstruktur dan
alternative jawabannya sudah ditentukan.
3.4.1 Data Primer
Data primer merupakan data yang dikumpulkan
serta diolah oleh peneliti yang didapatkan langsung dari objek penelitian.
Untuk mendapatkan data ini, peneliti menggunakan metode wawancara berstruktur
dengan menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpulan data. Kuesioner
disebarkan kepada responden yang sudah ditentukan sebelumnya.
3.4.2 Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang diperoleh
peneliti dalam bentuk yang sudah jadi. Data ini dikumpulkan dan diolah oleh
pihak lain yang biasanya sudah dalam bentuk publikasi (Santoso, Tjiptono,
2004). Data sekunder berguna sebagai penunjang informasi dalam penelitian.
Peneliti memperoleh data sekunder untuk penelitian ini melalui artikel, situs,
dan jurnal di internet.
3.4.3
Populasi dan Sampel
3.4.3.1
Populasi
Populasi merupakan keseluruhan gejala atau
satuan yang ingin diteliti. Populasi adalah keseluruhan objek penelitian baik
terdiri dari benda yang nyata, abstrak, peristiwa ataupun gejala yang merupakan
sumber data dan memiliki karakter tertentu yang sama. (Sukandarrumidi, 2006,
p.47 )
Pada penelitian ini yang dijadikan populasi
adalah pengunjung Mirota Batik Yogyakarta yaitu laki-laki atau perempuan yang berusia
18-50 tahun, dengan SSE A-C atau memiliki daya beli, dan tergabung dalam group
”Mirota Batik ”Mirota Batik Jogja”
Sampel adalah dugaan sifat-sifat suatu kumpulan
objek penelitian hanya dengan mempelajari dan mengamati sebagian dari kumpulan
itu. Sampel sebagai bagian dari populasi yang memiliki karakteristik serupa
dengan dengan populasi.
3.4.3.2 Sampel
Sampel merupakan bagian dari populasi yang
ingin diteliti dan dianggap dapat menggambarkan populasi yang diwakilinya.
(Soehartono, 1995, p. 59). Dengan demikian sampel harus dipandang sebagai suatu
pendugaan terhadap populasi dan bukan populasi itu sendiri. (Bailey, 1994, p.83
). Beberapa ide dasar mengenai sampel menurut Purwadi (2000, p.125) yaitu:
1. Mencari informasi atau pengetahuan
tentang keseluruhan objek atau gejala yang diteliti (populasi)
2.
Mengamati sebagian dari objek atau gejala yang diteliti (sampel)
3. Menarik kesimpulan tentang
keseluruhan objek atau gejala yang diteliti.
Untuk
menentukan sampel yang akan dipakai dalam penelitian dilakukan dengan sampling.
Sampling merupakan pemilihan sampel dari populasi yang bertujuan mendapatkan
kesimpulan umum mengenai populasi berdasarkan hasil penelitian terhadap sampel
yang dipilih. (Purwadi, 2000, p.125 ).
Populasi
adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas objek atau subjek yang mempunyai
kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk
dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya (Sugiyono,2005,p.55). Populasi
sendiripun dapat diartikan sebagai aturan satuan yang ingin diteliti atau jumlah
total manusia yang cocok dijadikan responden atau yang cukup relevan dengan
suatu penelitian (Neuman,2000,p.249).
Populasi
yang diambil oleh peneliti adalah jumlah likes pada facebook Mirota Batik Jogja
yang berjumlah 13.541 likes tertanggal 20 Oktober 2011. Populasi ini diambil
sebagai pertimbangan karena konsumen yang melakukan likes pada facebook Mirota
Batik Jogja tentunya merupakan konsumen yang pernah berkunjung dan paling tidak
tertarik dengan Mirota Batik Jogja. Kemudian sampel adalah bagian dari populasi
(Kountur,2004,p.137). Peneliti menggunakan penghitungan sampel yang dihitung
menggunakan rumus Slovin (Kriyanto, 2007), dengan pertimbangan jumlah
populasinya terhingga dan diketahui jumlahnya. Berikut adalah rumus Slovin :
dimana
:
n
= Jumlah sampel
N
= Jumlah populasi
e = Prosentase kelonggaran ketidaktelitian
karena kesalahan pengambilan sampel yang masih bisa ditolerir.
Dari
hasil rumus diatas, maka diperoleh jumlah sampel yang akan diambil dalam
penelitian ini adalah 99,26 orang dari jumlah populasi sebanyak 13.541 orang
dan e-nya adalah 10%. Sebagai bentuk kemudahan dan kenyamanan untuk penelitian
maka jumlah ini dibulatkan menjadi 100 orang yang menjadi fanpage facebook
Mirota Batik Jogja. Jumlah ini tergolong dapat diterima serta dapat merepresentasikan
serta mewakili populasi sesuai dengan standar minimum penelitian.
3.5 Teknik
Penarikan Sampel
Teknik
penarikan sampel adalah sebuah teknik yang digunakan untuk menyeleksi individu
dari populasi yang dapat menghasilkan sampel yang representative (Supramono dan
Sugiarto,1993,p.149). Sedangkan teknik sampling digunakan untuk mengetahui
berapa banyak elemen populasi yang akan diambil sebagai anggota sample
(Umar,2007,p.129).
Terdapat
dua teknik pengambilan sampel yaitu probabilita dan non- probabilita. Teknik
penarikan sampel probabilita yaitu pengambilan sampel memberikan peluang yang
sama bagi setiap unsur populasi untuk menjadi sampel. Sedangkan teknik
penarikan sampel non-probabilita, yaitu bila peneliti tidak memberikan peluang yang
Sama bagi semua anggota populasi (Ruslan,2003,p.142).
Karena
peneliti tidak dapat membentuk kerangka sampel yang jelas maka peneliti
menggunakan teknik penarikan sampel non-probabilita. Dan kemudian Peneliti
menggunakan metode purposive sampling sebagai Cara untuk memperoleh sampel
dengan teknik non-probabilita yaitu sampel yang dipilih dengan criteria
tertentu (Sugiyono, 2005,p.78). Purposive sampling biasanya digunakan untuk
memilih responden yang susah untuk ditemui atau responden yang sudah dikhususkan
(Neuman,2000,p.222).
Peneliti
menggunakan kriteria sampel dimana seluruh populasi merupakan konsumen yang
pernah berkunjung ke Mirota Batik Jogja, karena hal yang menjadi fokus peneliti
adalah ingin melihat minat beli konsumen pada atmosfir toko Mirota Batik Jogja.
Kriteria sampel berikutnya adalah konsumen yang melakukan likes pada fan page
Mirota Batik Jogja, dikarenakan sebagai bentuk kemudahan konsumen dalam
menentukan populasi serta sampel penelitian karena Mirota Batik tidak mempunyai
sistem membership atau data mengenai siapa saja yang berkunjung di Mirota Batik
Jogja. Konsumen yang melakukan likes pada fan page Mirota Batik tentunya
merupakan konsumen yang sudah pernah berkunjung dan tertarik pada Mirota Batik
Jogja.
Pre-test
diadakan untuk menyempurnakan kuisioner yang secara spesifik bertujuan untuk
mengetahui beberapa hal seperti ( Singarimbun, 1996, p.183) :
a.
Apakah semua pertanyaan yang diajukan peneliti, relevan untuk responden.
b. Apakah ada pertanyaan yang perlu ditambah
oleh peneliti, karena ada Kalanya peneliti lupa memasukkan pertanyaan yang
perlu dicantumkan.
c.
Apakah setiap pertanyaan dapat dimengerti dengan baik oleh responden.
d. Berapa lama waktu yang dibutuhkan
dalam pengisian kuisioner. Dari uraian Diatas, peneliti kemudian melakukan
pre-test kepada 30 responden.
3.6 Uji Instrumen
3.6.1 Uji Reliabilitas
Reabilitas adalah suatu metode pengukuran
kualitas instrumen pengukuran untuk melihat terdapat perolehan hasil yang sama jika
observasi dilakukan dengan menggunakan alat ukur yang sama pada fenomena yang
juga sama yang dilakukan lebih dari sekali atau berulang kali. Reliabilitas
berkaitan degan keterandalan dan konsistensi suatu indikator dengan mengukur
tingkat akurasi dan presisi dari jawaban yang mungkin dari beberapa pertanyaan
( Neuman, 2003, p.179).
Peneliti menggunakan metode pengukuran
Coefficient Cronbach’s Alpha sebagai uji reliabilitas, yaitu rata-rata dari semua
koefisien korelasi belah dua yang mungkin dibuat dari suatu alat ukur ( Bailey,
1994, p.36 ). Nilai Alpha berfungsi sebagai alat untuk mengetahui konsistensi
antar indikator yang digunakan. Standar nilai alpha yang digunakan adalah 0,5
dimana diartikan bahwa indikator yang digunakan sesuai untuk mengukur konsep
yang diusung. Sedangkan apabila nilai yang diperoleh berada di bawah 0,5 dapat
dilihat bahwa alat ukur yang dibuat tidak reliabel.
3.6.2 Uji Validitas
Uji validitas dilakukan karena validitas
berkaitan dengan kesesuaian antara suatu batasan konseptual yang diberikan
bantuan operasional yang telah dikembangkan (Walizer, Mienir, 1991). Indikator
yang digunakan harus indicator yang tidak hanya reliable, tapi juga harus
valid. Validitas diperlukan untuk mengetahui indikator pertanyaan yang kita pakai
apakah sudah benar mengukur hal yang akan diukur.
Validitas yang digunakan dalam penelitian
ini adalah validitas isi. Validitas isi menjelaskan apakah semua ide dan konsep
yang terkandung dalam definisi konseptual tercakup dalam perangkat ukur
(Walizer, Mienir, 1991, p.115). Dalam penelitian ini validitas diukur dengan
menggunakan prosedur Analisis Faktor. Analisis Faktor pada prinsipnya digunakan
untuk mereduksi data, yaitu proses untuk meringkas sejumlah variabel menjadi
lebih sedikit dan menamakannya sebagai faktor. (Santoso, Tjiptono, 2004,
p.250). Analisis Faktor bekerja berdasarkan matrik korelasi yang akan
difaktorkan. Dasar pemikirannya adalah jika korelasi di antara variabel cukup
kuat, maka akan terjadi pengelompokkan. Namun, jika korelasi lemah, maka variabel
tersebut dikeluarkan dari faktor.
Analisis faktor yang peneliti gunakan
adalah confirmatory factor analysis, dimana diperlukan sejumlah teori yang akan
digunakan untuk membangun hipotesis. Sehingga sering juga dikenal sebagai
teknik untuk menguji suatu teori. Angka KMO (Kaiser Meyen Oikin) akan
dipergunakan untuk melihat validitas ini yang juga merupakan syarat untuk
melakukan faktor analisis. Skor KMO yang tinggi yakni berkisar antara 0.5-1.0
mengindikasikan bahwa suatu variabel layak dipergunakan sebagai alat ukur
penelitian (“Factor Analysis”).
3.7 Metode Analisis Data
3.7.1 Uji Normalitas
Uji normalitas data dilakukan sebelum
data diolah berdasarkan model-model penelitian atau prosedur statistika yang
diajukan. Uji normalitas data bertujuan untuk mendeteksi distribusi data dalam
suatu variabel yang akan digunakan dalam penelitian. Dengan kata lain, uji
normalitas dilakukan untuk memeriksa apakah data penelitian berasal dari populasi
yang sebarannya normal. Jika distribusi data diasumsikan normal, maka analisis
dengan menggunakan statistik dapat digunakan untuk mengukur data tersebut.
Pada penelitian ini uji normalitas dilakukan
dengan menggunakan uji beda Zscore. Konsep dasar dari uji beda Zscore adalah
dengan membandingkan nilai korelasi variabel yang sudah diubah menjadi Zscore
dengan nilai korelasi variabel-variabel sebelum diubah menjadi Zscore.
Kelebihan dari uji ini adalah sederhana dan tidak menimbulkan perbedaan persepsi
di antara satu pengamat dengan pengamat yang lain, yang sering terjadi pada uji
normalitas dengan menggunakan grafik (“Kolmogorov Smirnov Test”).
3.7.2 Analisis
Deskriptif
Pada tahap awal pengolahan data, dilakukannya
uji dengan menggunakan analisis deskriptif. Analisis deskriptif digunakan untuk
mengumpulkan, meringkas, menyajikan, dan mendeskripsikan data. Data yang
disajikan biasanya dalam bentuk ukuran pemusatan data (mean, median, modus),
ukuran penyebaran data (standar deviasi dan varians), tabel, serta grafik
(histogram, pie, dan bar).
Dalam penelitian, metode ini digunakan
untuk mendapatkan gambaran secara deskriptif bagaimana atmosfir toko terhadap
Minat Beli Konsumen pada Mirota Batik Yogyakarta.
3.7.3 Analisis
Univariat
Analisis univariat dilakukan dengan menampilkan
tabel-tabel frekuensi dari data-data yang telah diolah. Metode yang digunakan
dalam analisis univariat adalah dengan analisis deskriptif frekuensi, dimana
analisis akan menampilkan semua data yang ada bukan dalam bentuk range atau
data interval. Mean, Median, Modus, dan standar deviasi dari tiap indiaktor
merupakan elemen-elemen yang digunakan dalam melakukan analisis univariat.
Dengan menggunakan elemen- elemen tersebut dapat dilihat gambaran mengenai
karakteristik responden yang ada, serta untuk melihat atmosfir toko, minat
beli.
3.7.4 Analisis Bivariat
Uji
bivariat dilakukan untuk melihat ada tidaknya hubungan antar variabel. Selain
itu, uji ini juga dilakukan untuk melihat seberapa besar kekuatan hubungan.
Dalam penelitian ini uji bivariat dilakukan untuk melihat pengaruh hubungan
antara store atmosphere dengan minat beli konsumen. Metode pengujian bivariat
dalam penelitian ini menggunakan Uji Korelasi Spearmans.
Untuk
menguji hipotesis penelitian dalam penelitian ini diuji dengan uji statistik
nonparametric, yakni korelasi “Rank Spearman” untuk melihat hubungan antara
variabel Atmosfir Toko dan minat beli.
Setelah
mengetahui ada tidaknya hubungan dan kekuatan hubungan antar variabel, langkah
selanjutnya adalah melakukan analisis regresi. Tujuan dari analisis regresi
adalah untuk memprediksi seberapa besar variabel dependen menjelaskan variabel
independen. Metode analisis regresi dibagi menjadi 2 yaitu analisis regresi
sederhana dan regresi berganda (multiple regression). Regeresi sederhana
digunakan apabila variabel independen hanya ada satu. Sedangkan regresi
berganda (multiple regression) digunakan apabila variabel independen lebih dari
satu. Dalam penelitian ini yang metode analisis regresi yang akan digunakan
adalah regresi sederhana karena varibel independen hanya ada satu. Dalam
melihat ada tidaknya pengaruh antara variabel dependen dan independen menurut
Neuman (Neuman. 2003. p55-57) terdapat tiga syarat yang harus dipenuhi. Pertama
yaitu temporal order yaitu keadaan dimana memang ada keadaan sebab akibat atau
memang ada keadaan dimana variabel dependen mendahului variabel independen.
Kedua yaitu adanya asosiasi dimana memang ada hubungan yang terjadi antara
variabel dependen dan variabel independen. Ketiga yaitu eliminasi alternatif
yang memugkinkan, maksudnya tidak ada variabel semu atau variabel lain antara
variabel dependen dan variable independen.
3.8 Metode Pengukuran
3.8.1 Operasionalisasi
Konsep
3.8.1.1 Atmosfir Toko (Store Atmosphere)
Peneliti ingin mengetahui tentang Atmosfir
Toko (Store Atmosphere) pada Mirota Batik Yogyakarta. Variabel yang digunakan
oleh peneliti diturunkan menjadi 4 dimensi yaitu General Exterior, Interior,
Store Layout dan Interior Point-of-Purchase Display. Masing-masing dimensi
kemudian diturunkan ke tingkat indikator. Seluruh indikator diukur dengan
menggunakan skala Likert 1-4 untuk melihat tingkat kesetujuan responden terhadap
pernyataan yang diajukan oleh peneliti dengan ketentuan sebagai berikut:
STS
= Sangat Tidak Setuju (1)
TS
= Tidak Setuju (2)
S
= Setuju (3)
SS
= Sangat Setuju (4)
3.8.1.2 Minat Beli
Konsumen
Peneliti ingin mengetahui tentang Minat
Beli pada Mirota Batik Yogyakarta. Seluruh indikator diukur dengan menggunakan
skala Likert 1-4 untuk melihat tingkat kesetujuan responden terhadap pernyataan
yang diajukan oleh peneliti dengan ketentuan sebagai berikut:
STS
= Sangat Tidak Setuju (1)
TS = Tidak Setuju (2)
S = Setuju (3)
SS = Sangat Setuju (4)
3.9 Hipotesis Penelitian
1.
Adanya hubungan pengaruh antara atmosfir toko dengan Minat Beli konsumen.
2.
Semakin menarik atmosfir toko maka semakin tinggi pula Minat Beli konsumen
3.10 Keterbatas dan Kelemahan Penelitian
3.10.1 Keterbatasan
Penelitian
1. Digunakannnya pertanyaan tertutup
membuat peneliti tidak dapat mengetahui alasan mengapa responden memilih
jawaban mereka. Selain itu juga membatasi resonden dalam menjawab.
2. Kemungkinan masih ada indikator-indikator
lain dalam Store Atmosphere yang bisa mempengaruhi minat beli konsumen tetapi tidak
diikutsertakan dalam penelitian. Hal ini disebabkan pemilihan indikator
dilakukan berdasarkan teori yang ada dan fokus penelitian.
3.10.2 Kelemahan
Penelitian
1. Survey dilakukan via email dan message
facebook sehingga mungkin saja terjadi kesalahan interpretasi responden
terhadap pertanyaan karena tidak dibaca dengan seksama.
2. Jumlah pertanyaan pada kuesioner yang
cukup banyak membuat responden tidak terlalu membaca dengan seksama setiap
kalimatnya karena mengira pertanyaan-pertanyaan ada kuesioner tidak terlalu berbeda
satu dengan yang lainnya, sehingga mungkin saja meningkatkan kecenderungan
untuk menyamaratakan jawaban.
DAFTAR
REFERENSI
Buku
Aaker, David D., V. Kumar, & George
S. Day. 2000. Marketing Research 7th ed. New York : John Wiley & Sons Inc.
Adiwijaya, Michael. 2010. 8 Jurus Jitu
Mengelola Bisnis Ritel ala Indonesia. Jakarta : PT. Elex Media Komputindo.
Amir, M.T. (2004). Manajemen Ritel Panduan
Lengkap Pengelolaan Toko Moderen. Jakarta : PPM,
Babbie, Earl. 1992. The Practice of
Social Research. Belmont : Wadsworth Thomson Learning
Bailey,
Kenneth D. 1994. Methods of Social Research, 4th editions. USA: The Free Press.
Berman, Berry, and Joel R Evans, 2007.
Retail Management, 10th edition, New Jersey : Prentice Hall Inc.
Blackwell, R. D., Miniard, P. W., &
Engel, J. F. (2001). Consumer Behaviour. Texas: Harcourt College Publishers.
Bungin, Burhan. 2009. Metode Penelitian
Kuantitatif: Komunikasi, ekonomi, dan kebijakan publik serta ilmu-ilmu sosial
lainnya. Jakarta: Kencana
Cannon, J. P., Perreault, W. D., &
McCarthy, E. J. (2008). Basic Marketing: A Global Managerial Approach 7th
Edition. New York: McGraw-Hill.
JURNAL ILMIAH
Astuti, S.W. dan Setiawan, F. (2007).
Analisis Pengaruh Citra Toko Terhadap Loyalitas Pelanggan Hypermarket Carrefour
ITC Surabaya Mega Grosir. Jurnal Ekstra, Tahun XVII, No 3, hal. 320-332.
Astuti, S.W. (2006), Pengaruh Lingkungan
Toko Terhadap Kriteria PemilihanToko dan Dampaknya Pada Minat Re-Visiting
Pembelanja Muda ke “Department Store” di Surabaya. Journal of Business and
Management, Vol. 1, No. 1, hal. 13-32.
Els Breugelmans, Katia Campob. ( 2011 ).
Effectiveness of In-Store Displays in a Virtual Store Environment. Journal of
Retailing 87 (1, 2011) 75–89
Gunawan, S., Rilantiana, R., dan
Kusumasondjaja, S. (2009), Pengaruh Persepsi Desain Toko Terhadap Store
Repatronage Intentions dengan Shopping Experience Costs Sebagai Intervening di Toko
Elektronik “X” Surabaya. Jurnal Manajemen Teori dan Terapan, Vol. 2, No 1, hal.
15-26.
Jean-Charles Chebata, Claire Ge ́linas
Chebatb, Dominique Vaillanta. Environmental background music and in-store
selling. Journal of Business Research 54 (2001) 115– 123
Tidak ada komentar:
Posting Komentar